Wawancara ADIEN JAUHARUDDIN

PMII Ingin Negara Berdaulat

Kamis, 10 Mei 2012 | 22:20 WIB

Di akhir Orde Lama, wajah Zamroni menghiasi media cetak dan TVRI. Tak heran, karena ia adalah tokoh kunci angkatan 66. Ia adalah orator dan politikus kritis yang mumpuni di zamannya. Tak salah jika sahabat-sahabat seangkatannya dari berbagai organisasi, mendaulatnya sebagai ketua KAMI, sebagai penanda lahirnya Orde Baru. <>

Di sisi lain, dunia jurnalistik “haram” hukumnya melupakan kolom-kolom H. Mahbub Djunaidi yang greget, sarat data, penuh humor, namun kritis. Bahkan sangat kritis sehingga tidak disukai pemerintah. Ia sempat dipenjarakan karena tulisan-tulisannya.

Ya, kritis, itulah ciri khas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, sebuah organisasi yang lahir 17 April 1960, dibidani anak-anak muda NU dan direstui PBNU saat KH Idham Chalid memimpin. H. Mahbub Djunaidi dan Zamroni adalah ketua Umum PMII di periode awal. 

Tentu saja tak sedikit tokoh-tokoh nasional gemblengan PMII, tangan terkepal dan maju ke muka. Mereka berjuang untuk bangsa ini sesuai kemampuan di bidang masing-masing. 

Kini, organisasi yang didirikan di Surabaya ini memiliki 227 cabang di seluruh Indonesia. Dan telah berusia 52 tahun. Usia yang tak muda lagi. Bagaimanakah daya gerak dan kritisnya di zaman Reformasi ini? Wartawan NU Online Abdullah Alawi mewawancarai Ketua Umum Pengurus Besar PMII Adien Jauharuddin selepas puncak harlah ke-52 PMII di Tugu Proklamasi Jakarta, (28/5) lalu. 

Puncak harlah ke-52 PMII dilaksanakan di Tugu Proklamasi, temanya Mengembalikan Kedaulatan di Tangan Rakyat. Ada juga Manifesto Indonesia Berdaulat. Lalu PMII menyebut-nyebut kaum mustad’afin. Pesan apa yang ingin disampaikan?  

Ya, PMII punya pesan pergerakan. Pesan itu dituangkan dalam manifesto. Pesan yang disampaikan adalah bahwa masih banyak persoalan bangsa ini. Salah satu yang penting adalah soal kedaulatan. Kenapa kita anggap ini penting? Karena ini soal harga diri bangsa, soal kepribadian bangsa. Sama ketika Bung Karno bilang berdikiri (berdiri di atas kaki sendiri, red), kedaulatan dalam bidang budaya, kedaulatan bidang politik dan ekonomi. Nah, malam hari ini kita menegaskan bahwa ini menjadi sangat urgen, terutama soal kepemilikan “asing” di Indonesia yang melebihi porsi sewajarnya. 

Selama ini PMII memandang Indonesia tidak berdaulat? 

Kalau melihat dari kedaulatan sesungguhnya, iya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar, bangsa ini memang ada semacam legalisasi, liberalisasi. Jadi, proses liberalisasi yang masuk ke Indonesia dilegalkan dengan adanya undang-undang yang lebiih berpihak kepada “asing”, misalkan hasil amandemen undang-undang dari tahun 99 sampai 2002, sudah beberapa kali amandemen. Ini sudah mengubah fondamen dasar bangsa ini. Nah, ini terutama pasal 33. Itulah yang kemudian menurunkan sekian banyak perundang-undangan, peraturan, kebijakan yang itu berubah dari cita-cita para pendiri bangsa. Nah, misalkan kepemilikan “asing” pada sektor-sektor strategis di atas 50 %; saham-saham BUMN, saham Telkomsel, saham-saham di sektor perbankan. Apalagi yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak; soal air, soal energi, soal tambang. Bahkan kepemilikan asing 99 persen di sektor perbankan. Nah, ini yang dibilang bahwa kita belum berdaulat secara ekonomi. Dalam hal yang lain, banyaklah.

Itu yang menyebabkan munculnya Manifesto Indonesia Berdaulat yang dikeluarkan PMII? 

Iya.

Apa inti Manfisto itu?

Manifesto itu intinya soal kegelisahan PMII; secara institusi, secara nasional, bahwa bangsa ini harus kembali ke jati dirinya. Bangsa ini harus mengelola tanahnya sendiri, udaranya sendiri, airnya sendiri. Itu intinya. Nah, jika tidak, dikuatirkan, Indonesia hanya sebuah negara yang hanya dikuasai orang luar semuanya. 

Manifesto kan cuma pernyataan, apa yang akan dilakukan PMII? 

Memang kita ini tidak menuntaskan semuanya. Ini adalah tanggung jawab bersama, terutama petinggi-petinggi pemerintah. Harus ada konsensus ulang, kesepakatan ulang harus bagaimana. Karena, siapa pun presidennya, kalau masalah akar pokoknya tidak diselesaikan, ini akan tersandera terus negara ini dalam kepentingan “asing”. Nah, tugas yang bisa kita lakukan, yaitu terus memberikan penyadaran dan mendidik para kader PMII bahwa inilah kondisi bangsa sesungguhnya. Sehingga harapannya di semua level, semua daerah, terus mengkritisi kebijakan kepada perundang-undangan yang tidak prorakyat.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah? 

Pemerintah agar berpikir ulang terutama soal keberpihakan. Ya, banyak hal sebenarnya yang bisa dilakukan, tergantung pemimpinya. Ini kan soal political will, ada kemauan, kerja keras. Mau nggak misalkan renegosiasi dengan seluruh kontraktor-kontraktor asing yang merugikan bangsa Indonesia. 

Menurut PMII, apakah pemerintah sudah melakukan itu? 

Ada upaya, tetapi tidak tegas, misalkan dari hasil renegosiasi nggak tahu seperti apa, belum dipublikasikan, misalnya renegoasisasi kontrak karya Freeport misalnya. Sampai hari ini pemerintah belum berani menegur ulang Freeport. Jadi, di situlah kemudian perusahaan-perusahaan aisng di Indonesia sudah menjelma menjadi lembaga-lembaga politik juga. Makanya pemerintah juga kadang-kadang takut, karena  kalau mengganggu Freeport misalnya, akan diganggu kedaulatan Papuanya. Jadi, saling sandera begitu. 

Jadi, belum tegas, meskipun ada upaya?

Iya. Belum tegas. Jadi, hanya jargon.  Nah, pemimpin itu pada intinya siap untuk tidak populer. Siap menanggung risiko apa pun dari kebijakannya. Yang penting satu: ada keberpihakan kepada kondisi nasional.

Baik. Lalu soal internal PMII, bagaimana gerakan PMII sekarang? 

Dalam hal ini, ada dua hal yang tetap kita kencangkan selama periode saya ini. Pertama, bahwa gerakan PMII kembali ke kampus. Jadi, semua kegiatan PMII diarahkan di kampus, bisa menggunakan masjid, mushola atau ruang-ruang pertemuan kampus supaya identitas kemahasiswaannya tidak hilang. Nah, yang kedua, kita mendorong kampus menjadi alat perubahan. Di luar agenda-agenda kampus, PMII itu menjadi rumah advokasi rakyat. Artinya, PMII terlibat mendampingi isu-isu yang berkepentingan dengan masyarakat banyak; soal lingkungan, soal air. Sesuai tema harlah yang menitikberatkan kepada soal Mengembalikan Kedaulatan di Tangan Rakyat dengan tujuan, PMII selain berkecimpung di wilayah kampus, juga menegaskan posisinya untuk terjun langsung ke masyarakat. PMII terlibat dalam pengorganisiran terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat langsung. Misalkan, masyarakat yang konflik pertambangan, konflik pertanahan, sosial, PMII harus menjadi garda terdepan melakuakan advokasi di wilayah itu. 

Bisa dicontohkan pengorganisiran itu? 

Misalkan soal tambang banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya soal pajak progresif pertambangan. Yang kedua soal lingkungan dampak dari pertambangan, yang ketiga misalkan ketidakadilan ekonomi akibat perusahaan tambang yang menggerus hak-hak politik masyarakat sekitar. Juga pendidikan politik masyarakat sekitar soal tambang sehingga betul-betul tidak hanya dijadikan sebagai alat legitimasi bagi perusahaan-perusahaan setempat. Nah, itu dalam soal pertambangan. Dalam soal yang lain juga PMII bisa menjadi daya perekat. Misalkan begini, dampak Pilkada ini kan menyebabkan konflik-konflik sosial yang terjadi di masayarakat, misalkan pembakaran kantor bupati, fasilitas publik dihancurkan segala macam. Nah, bagaimana PMII tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, bahwa yang namanya fasilitas publik harus dijaga. Selebihnya tetap menjaga idealisme masyarakat, mencerdaskan politik secara santun, secara sehat.

Sudah dilakukan itu?

Itu sudah. Soal BBM kemarin, serentak di seluruh Indoenasia, di 227 cabang itu melakukan aksi penolakan BBM. Dalam konteks harlah pun kita mengintruksikan kepada seluruh cabang PMII agar melakukan rangkaian kegiatan harlah, termasuk mengadvokasi problem-problem lokal.

Apa program unggulan selama periode Sahabat? 

Di luar program kaderisasi yang lainya, kita memang mengampanyekan agar semua cabang-cabang melakukan pelatihan kewirausahaan dan membentuk jaringan koperasi di semua daerah. Nah, harapannya di tahun ini, kita  melatih kemandirian, mereka bisa berwirausaha. Kita nggak berbicara soal target ya, keuntungan dari praktik sebuah ekonomi, tapi minimal ini menjadi pelatihan bersama sehingga kalau sudah pelatihan bersama, mereka ber-PMII akan terbiasa mandiri secara ekonomi. Nah, karena kelemahan aktivis saya kira, di mana-mana, ini hanya aktivis gerakan murni tanpa dibarengi dengan kemandirian ekonomi. Kadang-kadang mereka canggung, kadang-kadang mereka gengsi segala macam. Kita ingin pertama itu membunuh penyakit gengsi dulu.

Apa upaya-upaya ke arah itu?

Gerakan tetap dibangun, tetapi dengan catatan bahwa tradisi kewirausahaan, tradisi enterpreneur, pelatihan ataupun usaha kecil-kecilan di masing-masing itu harus mulai dibudayakan.

Selama ini PMII lebih banyak tumbuh di kampus-kampus agama. Bagaimana kaderisasi PMII di kampus-kampus umum?

Memang ini terus kita galakkan meskipun masih benyak terjadi ketimpangan ya, apa karena memang PMII itu lahirnya dari kampus agama. Jadi, masih pelan-pelanlah. Tapi memang kita tidak pernah mendikotomi kampus umum atau kampus agama karena itu tidak baik dan tidak sehat karena kan ukuran bagi PMII tidak kampus agama atau kampus umum, tapi sejauh mana kontribisi dia terhadap organisasi, meskipun memang kita prioritas pada periode hari ini mengembangkan kampus-kampus umum terutama kampus negeri dan terutama lagi di wilayah-wilayah yang selama ini jarang tersentuh misalnya daerah Kalimantan, daerah Sulawesi, Maluku, Papua. Kalau Jawa sudah relatif terbangunlah.

Hubungan PMII dengan pihak-pihak luar, misalnya apakah PMII tergantung kepada pihak-pihak politikus, pengusaha?

Sejauh ini karekater PMII sejak lahir sampai sekarang itu kan kritis, ya. Sebenarnya tidak ada ketergantungan dengan pihak manapun. Hubungannya ya hubungan sinergis aja selama itu tidak melanggar prinsip-prinsip dasar organisasi. Saya kira PMII bisa berhubungan dengan siapa pun baik itu pemerintah, kalangan pengusaha, kalangan politikus.

Kalau hubungan PMII dan NU?  

Nah, hubungan PMII dan NU, bagaimanapun itu hubungan anak kandung. Tidak bisa dilepaskan! Meskipun terpisah secara garis organisasi saja: interdependensi; secara kultur dan lain-lain tak ada bedanya.

Kalau hubungan dengan gerakan kepemudaan NU yang lain misalnya GP Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU?

Sampai saat ini terus berjalan meskipun harus ada banyak yang dibenahi ya. Terutama soal pembagian job kaderisasi, misalkan kalau PMII khusus menggarap mahasiswa. Nah, sementara IPNU pelajar. IPNU itu menyiapkan resourcesnya PMII. Sementara berjalan itu masih tumpang- tindih. IPNU menggarap mahasiswa, akibatnya kaderisasi di level pelajar kurang maksimal. Terutama sekolah-sekolah excellent, sekolah-sekolah SMK, SMU yang favorit. Ini kan kurang tergarap. Nah, kalau sejalan, IPNU menggarap sekolah-sekolah, kemudian PMII menggarap mahasiswa, maka akan terjadi sinergi yang bagus. 

Apa yang ingin Sahabat sampaikan kepada cabang-cabang PMII di seluruh Indonesia? 

Momentun 52 tahun, jadikan refleksi bersama! PMII harus bisa mengibarkan benderanya di kampus-kampus, di masyarakat. Yang saya maksud mengibarkan bendera itu, bangun semua kekuatan, semua potensi kader, semua institusi kita, di semua kampus. Yang kedua, bangun kaderiasi secara masif. 

Apa harapan Sahabat di ulang tahun ke-52 PMII? 

Harapan saya, jangan pernah merasa puas terhadap semua institusi dari pusat maupun daerah. Jadikan umur PMII ini sebagai umur untuk refleksi bahwa kita sudah semakin tua. Tapi banyak pekerjaan yang masih perlu dibenahi terutam soal perbaikan tata kelola institusi, tata kelola kaderisasi, maupun tata kelola sumber daya. Itu yang paling penting. Nah, harapan saya, seluruh cabang PMII di Indonesia akan terus tetap semangat dan mereka tetap berada di jalur koridor organisasi.   



Redaktur: A. Khoirul Anam