Wawancara BADAN OTONOM

Sarbumusi Ingin Tingkatkan Kesejahteraan hingga Keimanan Buruh

Jumat, 27 Januari 2012 | 23:48 WIB

Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) berdiri (27/09) 1955. Sebagai Banom NU, ia pernah memiliki anggota sampai 2,5 juta. Pada tahun 1973, regulasi menghendaki semua serikat buruh melebur dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Rezim Orde Baru kemudian runtuh.

Sarbumusi bangkit kembali di kancah pergerakan buruh. Kongres IV 2010 menjadi kongres pertama sejak 1973. Sarbumusi mulai melakukan konsolidasi diri. Semangat ini diwujudkan dengan peresmian kantor DPP Sarbumusi, Senin lalu (23/01).<>

Kini DPW Sarbumusi tersebar di tujuh kota, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat. DPC Sarbumusi yang ada hingga kini berjumlah 120 yang berbasis di 2241 perusahaan. 

Apa makna kebangkitan Sarbumusi? Apa tindakan Sarbumusi dalam mengadvokasi anggotanya? Bagaimana Sarbumusi meningkatkan kesejahteraan buruh, terutama keluarganya?

Berikut ini hasil wawancara Alhafiz Kurniawan dari NU Online dengan Ketua Umum DPP Sarbumusi Saiful Bahri Ansori, terkait nasib buruh di kantor Sarbumusi, Selasa (24/01) siang, Jalan Raden Saleh 1 No. 7 A, Jakarta Pusat.

Sarbumusi vakum. Sekarang digalakkan kembali. Apa konteksnya?

Sesuai dengan nama Sarbumusi. Tentunya dalam konteks bagaimana buruh warga NU ini bisa menyampaikan hak dan aspirasinya untuk meningkatkan kesejahteraan. Karena Sarbumusi sudah ada, maka saya selalu menghimbau kepada buruh-buruh yang memiliki latar belakang Nahdliyyin untuk kembali ke pangkuan Sarbumusi.

Ide yang diusung Sarbumusi seperti apa?

Semangat Sarbumusi ini kan bagaimana caranya agar buruh sejahtera. Kedua, bagimana agar buruh mendapatkan keadilan. Ketiga, bagaimana agar buruh meningkat keimanannya. Ini untuk semua, bukan hanya buruh, tapi juga menyangkut keluarganya. Jadi lebih ke komunitas keluarga buruh. Karena apa? Karena pertama, selama ini tiap kebijakan buruh, buruh hampir tidak pernah dimenangkan oleh proses hukum yang terjadi karena memang posisi buruh selalu lemah. Di samping undang-undang jarang memihak terhadap buruh, advokasi terhadap buruh kurang optimal. Maka Sarbumusi akan berusaha semaksimal mungkin dengan lembaga bantuan hukum agar buruh ini mendapatkan keadilan dimana ia kerja.

Kedua, buruh harus mencapai kesejahteraan karena kita tahu bahwa gaji yang diterima buruh kan kalau diukur dari kebutuhan yang layak cost itu kan nggak! Karenanya Sarbumusi akan berjuang bagaimana caranya agar buruh dan keluarganya menjadi sejahtera serta agar mendapatkan kehidupan layak secara ekonomis. Dan di situ letaknya kenapa Sarbumusi mendirikan koperasi. Diharapkan dengan koperasi ini, kita mampu melatih secara baik keluarga buruh nanti agar mampu mengelola usaha kecil. Dengan koperasi ini, para buruh bisa mendapatkan uang tambahan.

Ketiga, ini hak NU dan NU juga keagamaan. Maka apapun yang dilakukan buruh itu di samping meningkatkan ekonomi dan keadilannya, tapi juga harus meningkatkan keimanannya kepada Tuhan. Karenanya Sarbumusi pun bertanggung jawab untuk meningkatkan ketakwaan dan menambah pengetahuan keagamaan mereka. Karena, bagi Sarbumusi harus ada keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat itu. Saya kira ini pun sama dengan yang dikembangkan oleh NU.

Apa makna kebangkitan kembali Sarbumusi?

Makna kebangkitan Sarbumusi sendiri lebih pada sikap dan semangat yang dimiliki oleh aktivis Sarbumusi ketika itu karena ketika rezim Orde Baru itu Sarbumusi tidur. Nah setelah tidur itu, Sarbumusi bangkit kembali dari tidur panjang. Karena selama rezim Orde Baru, Sarbumusi dan organ buruh lain tidak mendapat ruang dengan sistem politik. SPSI misalnya tidak boleh bergerak apapun, termasuk pelatihan-pelatihan. Tetapi aktivis-aktivisnya kan masih ada. Ketika dibatasi, itulah reformasi menjadi momentum. Teman-teman berkumpul di rumah Gus Dur kemudian dilanjutkan di periode Pak Hasyim Muzadi. Nah saya salut pada mereka yang di masa transisi, walaupun mereka tidak begitu aktif. Padahal mereka sudah tua. Ketika melihat momentum, mereka langsung bangkit.

Apa capaian yang sudah didapat Sarbumusi?

Pertama kita sekarang kantor. Karena, selama ini kita tidak punya kantor. Kedua, kita telah mampu melakukan konsolidasi dengan baik. Ketiga, kita terus memupuk kerjasama dengan pihak lain. Selama ini kita melakukan banyak program terkait dengan peningkatan ekonomi dan lain-lain. Kita menjalin kembali hubungan dengan pihak internasional, ILO. Jadi kami dalam beberapa pelatihan itu dapat supporting dari ILO. Insya Allah ke depan kami akan terus cooperation.

Apa yang dilakukan Sarbumusi untuk meningkatkan kuliatas buruh?

Dalam Sarbumusi itu kan ada tiga klasifikasi buruh. Pertama, buruh yang tidak punya pendidikan dengan baik. Kedua, buruh yang pendidikannya mendingan. Ketiga, buruh yang memiliki pendidikan dengan baik. Di NU itu ada semua. Karena itu, kami konsentrasi pada buruh pertama dan kedua itu. Karena, hampir mereka itu pengetahuan tentang perburuhannya tidak ada. Hak-hak sebagai buruh itu tidak punya. Bahkan mereka tidak mengerti bahwa ada undang-undang perburuhan dan program lain.

Di sini letaknya Sarbumusi untuk mengawal mereka agar mereka punya bekal pengetahuan yang cukup sehingga dengan pengetahuan itulah mereka berjuang hak-haknya. Tentunya kita dampingi karena memang undang-undang kita itu membolehkan serikat-serikat itu menjadi paralegal, advokat bagi para buruh. Inilah keuntungan dari peratuan itu sehingga kami terus meningkatkan pengetahuan mereka sehingga mereka bisa memahami hak-hak mereka.

Sarbumusi melihat pemerintah sudah kooperatif dengan pihak buruh atau?

Nggak. terutama peraturan tentang outsourcing.

Apa sikap Sarbumusi?

Sekarang sudah ada keputusan MK. Ini baik, karena akan membuat posisi buruh lebih baik, baik secara buruh maupun gajinya. Outsourcing itu kan sebenarnya tidak memberikan alternatif kepada buruh dan tidak memberi harapan sama sekali di samping gajinya murah. Jadi nanti outsourcing gajinya disamakan dengan buruh tetap. Yang paling mengerikan itu melibatkan pihak ketiga, pihak yayasan itu. Yang yayasan itu sendiri kadang mempermainkan para buruh. Contoh, Anda akan saya memperpanjang kontrak asal Anda membayar dari gaji sekian persen. Itu sudah jadi fenomena umum. Ini kan nggak benar. Jadi, memang harus menguatkan solidaritas buruh. Buruh ini memang tidak kompak.

Pada saat penulisan wawancara ini dikerjakan Jumat siang (27/01), buruh di Bekasi tengah turun beraksi menuntut haknya. Aksi yang sudah dilakukan kesekian kali ini, adalah reaksi pascaputusan PTUN Bandung yang memenangkan gugatan pihak APINDO Kabupaten Bekasi dalam penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2012.

Ribuan buruh semula berkumpul di patung kuda kawasan industri Jababeka. Niatnya mereka akan bergerak ke pintu tol dan jalan utama untuk melumpuhkan laju ekononomi di sana. Mereka menolak putusan tersebut karena dinilai cacat administrasi.

Terkait tripatrit, di mana posisi Sarbumusi berhadapan dengan APINDO dan pemerintah?

Kita kan punya perwakilan di tingkat nasional, di tingkat wilayah. Riau dan Jawa Timur ada. Kita mempercayakan pada mereka yang duduk di LK (Lembaga Kerjasama–red.) itu. Dan itu sangat positif. Karena, selama ini memang Sarbumusi melakukan pendekatan dialog, musyawarah sehingga mereka harus melakukan dialog.

Bagaimana Anda melihat pemerintah, APINDO, atau serikat buruh?

Jadi begini. Kalau ada musyawarah, pemerintah kadang melampaui kewenangannya. Pemerintah sebenarnya nggak punya kewenangan. Ia hanya mediator. Tapi sering ia berpihak. Ini sering. Inilah yang menjadi perjuangan berat bagi Sarbumusi ketika pihak pemerintah ini berpihak pada kepentingan perusahaan. Karena sering, kalau ada kongkalikong, itu ya pihak pemerintah, HRDnya. Padahal buruh itu sederhana, bagaimana gaji mereka dibayar tepat waktu dan sesuai dengan undang-undang. Dan kalau ada lebaran, ya ada tunjangan. Ya itu saja. Tetapi kan selama ini tidak seperti itu. Semua dimainkan oleh elit-eilt saja. Lha, ini perjuangan yang harus selalu kita lakukan.

Kalau terkait buruh informal sendiri bagaimana?

Ya begini, salah satu keputusan kongres kemarin yang menarik adalah bagaimana buruh informal ini masuk dalam program-program NU karena buruh informal ini tidak dicover pemerintah. Buruh informal ini kan, buruh yang tidak punya masa depan, tidak ada jaminan hari tua, jaminan asuransi. Padahal 70 % di Indonesia ini ya mereka itu. Berkebalikan 30% dengan negara-negara barat. Karena itu kami berusaha bersama teman-teman itu agar buruh informal ini mendapatkan haknya yang sama, terutama petani, nelayan dan kaki lima.

Kami berapa kali komunikasi dengan pihak Jamsostek. Ada cara yang coba bisa dilakukan nanti, yaitu mereka membuat kelompok-kelompok gerakan asosiasi petani. Dengan kelompok inilah mereka menjadikan dirinya berbadan hukum.

Dengan demikian, mereka dengan badan itu, mendapatkan ‘kue’ untuk pelatihan, micro finance. Nah kelamahannya kan, kesadaran untuk menjadi badan hukum ini yang agak susah. Barangkali kita akan mengadvokasi dan mendorong kesadaran mereka.

Terkait buruh migran sendiri?

Kita memang belum fokus pada buruh migran. Walaupun kita sudah punya kementrian khusus mengenai itu. Pemerintah minta agar Sarbumusi pun ikut secara khusus menangani buruh migran. Itu menjadi tantang bagi kami. Kami menyadari bahwa buruh migran itu kan orang yang menghasilkan devisa namun kurang beruntung. Karena itu kita akan coba agar para buruh migran ini mendapatkan haknya sebagai buruh dan dihormati juga sebagai orang yang mempunyai peran dalam pembangunan.

Buruh migran ini sangat kompleks. Bukan hanya Menakertrans, ada Menhub, Kepolisian, Menkumham. Artinya dalam melihat buruh migran ini, mesti melacak dari hulu sampai hilir, mulai dari bagaimana perekrutan, bagaimana pelatihan, dan penempatan.

Saya berdiskusi dengan kawan-kawan kementrian itu. Memang kurang ada konsistensi dalam menyiapkan, melaksanakan aturan yang ada. Misalkan dalam rekrutmen, dalam sisi umur saja. Anak di bawah umur. Sisi pelatihan? Selama 200 jam pelatihan mengenai bahasa. Tetapi tidak sampai 200 jam. Penempatan juga gitu. Saya kira ini harus dibenahi. Saya memberikan support yang tinggi terkait MoU antara pemerintah RI dan Malaysia itu. Saya pun bagian yang tidak setuju selama tidak ada MoU dengan negara. Jangan mengirim buruh migran karena tak ada jaminan hukum. Darimana ia dapat jaminan hukum. Nah, kalau ada MoU, sudah jelas tuh. Ada hari libur, ada kejelasan jam kerja dan tuannya.

Nah kalau nggak ada apa, lalu bagaimana? Faktor di bawah usia pun banyak. Libur? Nggak pernah libur. Karena itu saya berharap dari pemerintah itu agar berhati-hati. Sekarang negara-negara yang bermasalah ini mengadakan moratorium. Untuk menghidupkan moratorium itu, harus ada MoU. Tanpa itu, akan menjadi masalah yang tidak manusiawi.

Bagaimana harapan ke depan?

Kuncinya kalau buruh mau kuat, maka buruh harus bersatu. Karena tidak mungkin, meskipun kita punya anggota buruh yang besar tanpa ada persatuan, maka akan susah. Jadi kuncinya itu. Kedua, harus sering komunikasi di antara serikat-serikat buruh sehingga persoalan-persoalan di lapangan bisa diselesaikan bersama-sama. Karena, buruh ini kan dalam perebutan konteks perebutan konstituen ketat. Apalagi berdasarkan keputusan kongres ILO yang membolehkan sepuluh atau lima belas orang membuat serikat pekerja. Akhirnya tumbuh subur. Dalam satu perusahaan bisa dua, tiga serikat. Bahkan sekarang ada istilah serikat pekerja lokal, aliansi buruh Sukabumi, aliansi buruh Situbondo. Ini buruh lokal. Lha ini kan jadi semacam kompetisi. Jangan sampai kompetisi ini menjadikan konflik di antara serikat pekerja. Tetapi harus dibentuk kompetisi-kompetisi yang sehat. Kalau perlu dikapling-kapling, kamu bagian perusahaan ini, kamu bagian perusahaan sana, nggak masalah.

Yang penting bagaimana buruh-buruh mendapatkan hak-haknya sehingga mereka lebih meningkat secara ekonomi. Kuncinya di situ. Kalau tidak, repot. Kita tidak bisa melawan raksasa, kapitalis, pemodal besar.

Jadi kuncinya adalah kekompakkan?

Lha iya. Bayangkan saja kalau sopir truk mogok. Nah semua akses ekonomi kan jadi tertutup.

Apa yang dilakukan Sarbumusi dalam menghadapi negosiasi yang macet?

Saya sependapat kalau keadaan itu sudah stag, pihak perusahaan menekan buruh dan pihak pemerintah tidak berbuat sesuatu, maka ya harus mogok, demo. Hanya bagi Sarbumusi, mogok ada aturannya. Tidak sampai anarkis. Tetapi lebih kepada perang urat syaraf karena dengan begitu perusahaan kan rugi juga. Karena bagi saya buruh dan perusahaan itu sejajar. Hanya perbedaan fungsi saja. Kalau perusahaan, fungsinya menjamin hidup dengan biaya. Buruh juga begitu, bagaimana ia bekerja untuk perusahaan besar. Jadi sama. Buruh tanpa perusahaan, tidak bisa hidup. Perusahaan tanpa buruh juga begitu. Jadi keduanya mitra. Karena itu, seorang manajer tak bisa semena-mena. Begitu juga buruh, nggak bisa sewenang-wenang terhadap perusahaan.

Etika macam apa yang ingin diusung?

Iya sesuai dengan ke-NU-an. Dalam Al-Quran kan, Wa jadilhum billati hia ahsan atau Wa syawirhum fil amri. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika buruh tak lagi dapat menyampaikan aspirasi, dipressur oleh kelompok perusahaan, boleh menggunakan kekuatan itu. Tetapi, lebih kepada tekanan psikologi, bukan pakai anarkhi. Karena kadang-kadang perusahaan kurang ajar dan itu terjadi. Nah kalau mereka seperti itu, kenapa kita tidak?