Jateng

PMII Kota Semarang Gelar Aksi Tolak KUHAP Baru, Soroti Sejumlah Pasal Bermasalah

Ahad, 23 November 2025 | 17:00 WIB

PMII Kota Semarang Gelar Aksi Tolak KUHAP Baru, Soroti Sejumlah Pasal Bermasalah

Aksi unjuk rasa menolak KUHAP di depan kantor DPRD Jawa Tengah dan memenuhi ruas Jalan Pahlawan, Semarang, pada Jumat (21/11/2025),

Semarang, NU Online

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang menggelar aksi unjuk rasa menolak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR RI.


Aksi berlangsung di depan kantor DPRD Jawa Tengah dan memenuhi ruas Jalan Pahlawan, Semarang, pada Jumat (21/11/2025).


Ketua PC PMII Kota Semarang M Afiq Nur Cahya menegaskan bahwa sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru dinilai berpotensi memperluas kewenangan aparat penegak hukum tanpa pengawasan yudisial yang memadai.


“Ketika penangkapan, penyadapan, atau penahanan dapat dilakukan tanpa izin hakim, warga sipil berada dalam posisi rentan. Ini ancaman bagi warga biasa,” ujarnya, sebagaimana dikutip NU Online Jateng


PMII menilai pembahasan revisi KUHAP dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Dokumen analisis yang dikirim beberapa organisasi masyarakat sipil disebut tidak mendapat perhatian memadai dari DPR, sehingga substansi undang-undang dinilai tidak mencerminkan prinsip perlindungan hak warga negara.


Dalam pernyataan resminya, PMII Semarang menyoroti sejumlah pasal bermasalah yang dianggap membuka ruang kriminalisasi dan penyalahgunaan wewenang. Beberapa ketentuan yang disoroti antara lain:


1. Pasal 16, memungkinkan operasi terselubung sejak penyelidikan tanpa kontrol hakim.


2. Pasal 5 ayat (2), membuka peluang penangkapan dan penggeledahan sebelum kepastian tindak pidana.


3. Pasal 90 dan 93, mengatur upaya paksa tanpa keharusan memperoleh izin pengadilan.

4. Pasal 105, 112A, 132A, dan 124, memperbolehkan penyadapan atau pemblokiran dalam keadaan mendesak tanpa persetujuan hakim.


5. Ketentuan restorative justice sejak penyelidikan, yang dinilai rawan tanpa pengawasan lembaga independen.


6. Sentralisasi kewenangan penyidikan di bawah Polri serta aturan mengenai penahanan bagi penyandang disabilitas mental yang dinilai berpotensi diskriminatif.


Baca selengkapnya di sini