Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil: KUHAP Jadikan Polri Lembaga Superkuasa Tanpa Kontrol

NU Online  ·  Sabtu, 22 November 2025 | 20:30 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil: KUHAP Jadikan Polri Lembaga Superkuasa Tanpa Kontrol

Polisi berjaga mengamankan aksi unjuk rasa (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Koalisi Masyarakat Sipil menilai KUHAP yang baru disahkan 18 November 2025 menjadikan Kepolisian RI sebagai lembaga superkuasa dengan kewenangan yang nyaris tanpa batas. 

 

Direktur LBH Jakarta Muhammad Fadhil Alfathan menyebut banyak pasal dalam KUHAP baru lebih mirip upaya memperluas dominasi Polri daripada memperbaiki sistem peradilan pidana.


Fadhil menyebut sejumlah ketentuan dalam KUHAP 2025 membuka peluang penuh bagi Polri untuk melakukan berbagai tindakan tanpa definisi, tanpa batasan, dan tanpa pengawasan.


"Terus terang, saat membaca KUHAP 2025, saya bingung apakah ini KUHAP atau Undang-Undang Polri yang baru. Banyak pasal memberi ruang luar biasa bagi kepolisian,” ujar Fadhil di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (22/11/2025).

 

Ia menyoroti Pasal 5 huruf e, Pasal 7 huruf o, dan Pasal 16 huruf k yang mengatur tentang ‘tindakan lain’ oleh penyidik dan penyelidik tanpa penjelasan apa pun. Menurutnya, klausul ini membuka ruang legalisasi praktik-praktik yang selama ini rawan penyalahgunaan.


Fadhil mengingatkan bahwa tanpa pembatasan jelas, tindakan-tindakan aparat di lapangan bisa semakin sulit dikontrol. Fadhil mengaitkan hal ini dengan pengalaman yang pernah terjadi dalam sejumlah operasi Polri, seperti razia yang berujung pemerasan oleh oknum Ditresnarkoba Polda Metro Jaya pada DWP 2024, serta program penindakan yang mempermalukan warga di media sosial.


"Kalau tindakan-tindakan seperti itu kemudian dilegalkan lewat pasal ‘tindakan lain’, tentu sangat berbahaya. Ini bukan hanya soal pelanggaran HAM, tapi juga ruang besar bagi perilaku koruptif,” jelasnya.

 

Menurutnya, KUHAP baru tidak membangun framework akuntabilitas, tetapi justru menormalisasi pola penindakan yang selama ini banyak dikritik masyarakat.

 

Fadhil menilai KUHAP 2025 menempatkan Polri dalam posisi sangat dominan. Salah satunya adalah ketentuan bahwa Polri berwenang mengawasi penahanan yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).


“Kami berharap ada pengawasan oleh hakim, bukan diperluas ke Polri. Tapi KUHAP malah mempertegas posisi Polri sebagai pengawas penahanan PPNS. Ini melampaui prinsip peradilan yang berimbang,” ujarnya.

 

Koalisi menilai hal ini melemahkan prinsip check and balance dalam sistem peradilan pidana, karena hampir seluruh proses awal penegakan hukum terkonsentrasi di tangan kepolisian.


Rawan represi penangkapan semakin mudah
Dalam kerangka yang sama, Koalisi Masyarakat Sipil menilai KUHAP baru juga mempermudah penangkapan tanpa mekanisme kontrol yudisial yang memadai. Tanpa prinsip judicial scrutiny, seseorang bisa ditangkap hanya berdasarkan penilaian subjektif penyidik.

 

Fadhil menegaskan bahwa kondisi ini mengulang pola represi yang selama ini menimpa aktivis, demonstran, dan warga biasa yang berhadapan dengan aparat.


Fadhil menilai KUHAP seharusnya menjadi instrumen pembatas kekuasaan negara, bukan justru memperluas kekuasaan aparat penegak hukum.


“Desain KUHAP mestinya membatasi negara, bukan memperbesar kekuasaan Polri. Kalau dibiarkan, KUHAP 2025 akan menjadikan polisi lembaga paling kuat dalam proses hukum tanpa pengawasan yang memadai,” kata Fadhil.

 

Koalisi meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang pasal-pasal yang memperluas kewenangan Polri, serta membuka kembali ruang dialog dengan masyarakat sipil.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang