Pakar: Tanpa Pengadilan HAM, Keadilan untuk Korban Tragedi Semanggi I Tak Akan Terwujud
Jumat, 14 November 2025 | 13:30 WIB
Bivitri Susanti saat ditemui NU Online saat Aksi Kamisan Ke-886 sekaligus Peringatan 27 Tahun Tragedi Semanggi I, di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menegaskan bahwa hambatan terbesar dalam penyelesaian kasus Semanggi I adalah kegagalan politik negara dalam membentuk pengadilan HAM khusus (ad hoc). Tanpa langkah itu, proses penegakan hukum tidak pernah bergerak maju dan keluarga korban akan terus menunggu tanpa kepastian keadilan.
“Yang pertama-tama pasti yang bisa dilakukan negara adalah dengan membuatkan pengadilannya dulu,” ujarnya.
Desakan itu disampaikan kepada NU Online dalam Aksi Kamisan Ke-886 yang sekaligus memperingati 27 Tahun Tragedi Semanggi I, digelar di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Bivitri menjelaskan bahwa laporan investigasi Komnas HAM telah berkali-kali diserahkan kepada Kejaksaan Agung, tapi selalu dikembalikan tanpa tindak lanjut. Kondisi ini menunjukkan adanya kebuntuan politik dalam proses penanganan pelanggaran HAM berat.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000, peristiwa yang terjadi sebelum tahun 2000 termasuk Semanggi I, memerlukan persetujuan politik DPR untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Tanpa keputusan DPR, kejaksaan tidak memiliki dasar untuk melanjutkan proses hukum.
Bivitri juga menyinggung bahwa keluarga korban, termasuk Maria Catarina Sumarsih, telah mengetahui aktor intelektual di balik tragedi Semanggi I, bukan hanya pelaku lapangan.
“Jadi orang-orang kayak Bu Sumarsih dan yang lainnya banyak, itu tahu pelaku sebenarnya siapa. Bukan pelaku yang sekedar yang menembak, ya, tapi yang memberi keputusan untuk melakukan penembakan siapa?” ujarnya.
“Masa ada korbannya, nggak ada pelakunya, kan nggak logis juga,” tegasnya.
Bivitri turut menyampaikan kegelisahan publik yang semakin menguat setelah pemerintah menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Keputusan tersebut dinilai bertentangan dengan fakta sejarah serta nilai-nilai reformasi yang diperjuangkan para korban dan aktivis.
“Soalnya kita tuh kayak dipukul banget gitu ya, eh karena kan logikanya dibalik gitu ya. Jadi kami-kami ini yang melawan Soeharto, itu apa? Penjahat?” katanya.
Terkait upaya hukum, Bivitri menjelaskan bahwa Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan pemberian gelar tersebut.
Selain itu, sejumlah kelompok masyarakat juga tengah menyiapkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji aspek konstitusional terkait keputusan tersebut.
“Usaha sudah dilakukan. Kayaknya mesti lebih ramai lagi,” katanya.