Nasional

Aktivis Nilai Penundaan Pengesahan RUU PPRT sebagai Kekerasan Struktural yang Disengaja

NU Online  ·  Selasa, 4 November 2025 | 18:00 WIB

Aktivis Nilai Penundaan Pengesahan RUU PPRT sebagai Kekerasan Struktural yang Disengaja

Konferensi Pers Orang Muda Desak Prabowo dan DPR Segera Sahkan RUU PPRT yang digelar di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Para aktivis muda menilai penundaan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selama 21 tahun sebagai bentuk kekerasan struktural yang disengaja oleh negara. Mereka juga menilai, sikap abai penyelenggara negara terhadap nasib jutaan PRT mencerminkan keberpihakan terhadap kepentingan kelas penguasa dan pemodal.


Desakan tersebut disampaikan dalam Konferensi Pers bertajuk Orang Muda Desak Prabowo dan DPR Segera Sahkan RUU PPRT yang digelar di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).


Perwakilan Amnesty International Indonesia, Vania, menyatakan keprihatinannya atas lamanya perjuangan pengesahan RUU PPRT yang telah berlangsung lebih dari dua dekade dan generasi muda kini harus melanjutkan perjuangan tersebut.


“Fakta bahwa perjuangan PPRT ini harus diserahkan kepada generasi kita menunjukkan bahwa 21 tahun tidak ada perkembangan sama sekali,” ungkapnya.


Vania menambahkan bahwa pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, termasuk perdagangan orang, kekerasan seksual, dan pelecehan di tempat kerja.


Vania juga menekankan bahwa RUU PPRT tidak hanya penting bagi pekerja, tetapi juga menguntungkan bagi pemberi kerja karena dapat mencegah konflik, memberikan kepastian hukum, serta menjamin profesionalisme melalui aturan kerja yang jelas.


Ia juga menegaskan bahwa Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 telah menetapkan standar internasional untuk perlindungan PRT, termasuk hak atas upah layak, jaminan sosial, perlindungan dari kekerasan, serta hak untuk berunding dan berserikat.


“Semoga perjuangan untuk mengesahkan RUU ini berhenti di generasi kita. Generasi setelah kita hanya perlu menyempurnakannya, bukan memperjuangkan dari awal lagi,” tegas Vania.


Sementara itu, perwakilan Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Dea, menilai bahwa penundaan RUU PPRT bukan sekadar persoalan teknis, melainkan manifestasi dari ketimpangan kekuasaan yang mengakar dalam sistem negara.


“Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang disamarkan. Penundaan ini disengaja demi kenyamanan kelas penguasa dan pemodal,” ujarnya.


Menurut Dea, mayoritas PRT berasal dari kalangan perempuan miskin yang tidak memiliki jaminan sosial, upah layak, maupun perlindungan hukum. Ia menilai, abainya negara terhadap nasib mereka menunjukkan watak pemerintahan yang enggan berpihak pada kelas pekerja.


“Jutaan PRT terus bekerja tanpa perlindungan, sementara pemerintah lebih memilih diam dan menunda. Ini bukan janji yang belum ditepati, ini adalah kewajiban yang diabaikan,” tegasnya.


Dea menegaskan akan terus mengawal perjuangan pengesahan RUU PPRT sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan sosial.


“Ketika hak-hak PRT diabaikan, negara juga gagal memenuhi hak keluarga mereka. Banyak ibu tunggal yang menjadi PRT tidak mampu menyekolahkan anaknya karena upah tak layak. Negara seharusnya hadir, bukan absen,” pungkas Dea.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang