Nasional

Tumpang-Tindih Kewenangan Jadi Penyebab Proses Hukum 4 Aktivis Tahanan Politik Tersendat

NU Online  ·  Kamis, 6 November 2025 | 21:45 WIB

Tumpang-Tindih Kewenangan Jadi Penyebab Proses Hukum 4 Aktivis Tahanan Politik Tersendat

Tim Advokasi Untuk Demokrasi saat melakukan konferensi pers di depan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis (6/11/2025). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

Proses hukum terhadap empat aktivis tahanan politik Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim, dan Khariq Anhar kembali tersendat.


Kali ini bukan hanya soal lambatnya pelimpahan berkas, tetapi juga tumpang tindih kewenangan antara Polda, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri yang dinilai mengacaukan kepastian hukum.


Anggota Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Muhammad Al Ayyubi Harahap mengungkapkan bahwa struktur penanganan perkara ini sejak awal tidak berjalan selaras.


Menurutnya, pola koordinasi antarlembaga justru menempatkan para tersangka dalam ketidakpastian hukum berkepanjangan.


“Karena level penanganannya di Polda, maka pelimpahan dilakukan ke Kejaksaan Tinggi. Tapi eksekusinya tetap berada di Kejaksaan Negeri. Ini yang membuat prosesnya berbelok-belok,” ujar Ayyubi di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2025).


Ia menilai bahwa perpindahan kewenangan teknis dan administratif ini menjadi salah satu penyebab mengapa pelimpahan dari Kejaksaan ke pengadilan belum juga dilakukan sejak 29 Oktober 2025, meski perkara sudah memasuki tahap dua.


Ayyubi menjelaskan, persoalan ini menunjukkan lemahnya tata kelola administrasi hukum.


“Biasanya paling lama 10 hari. Tapi karena berkas harus naik turun antara Kejati dan Kejari, proses ini jadi lebih rumit dari yang seharusnya,” katanya.


Ia menegaskan bahwa problem koordinasi seperti ini tidak boleh menambah beban hukum bagi para tersangka, karena status mereka terikat pada batas waktu penahanan.


Menurut Ayyubi, lembaga penegak hukum seharusnya bisa menyesuaikan sistem koordinasi agar hak warga negara tidak terlanggar.


“Kalau memang perkara ini mau disidangkan, segera limpahkan. Kalau tidak layak disidangkan, hentikan. Jangan biarkan tersangka menunggu tanpa kepastian,” tegasnya.


Anggota TAUD lainnya, Nabil Hafizhurrahman menyoroti bahwa keterlambatan administratif ini tidak masuk akal mengingat rencana dakwaan sudah dibawa sejak proses pelimpahan dari penyidik ke kejaksaan.


“Tahap dua tinggal menunggu pelimpahan ke pengadilan. Tapi karena berkasnya dipisah di dua level, jadinya seperti menunggu tanpa kejelasan,” ungkap Nabil.


Ia mengingatkan bahwa penyusunan dakwaan bukan hal baru dalam perkara ini.


“Waktu pelimpahan dari Polda ke kejaksaan, rencana dakwaan itu sudah ada. Seharusnya lebih cepat, bukan makin lambat,” ujarnya.


Nabil menilai ketidaksinkronan antarinstansi dapat berubah menjadi preseden buruk karena membuat standar hukum berbeda-beda tergantung lembaga mana yang memegang berkas pada tahap tertentu.


Meski pernyataan resmi kejaksaan masih bersifat normatif, Nabil menegaskan bahwa para tersangka punya hak untuk tahu nasib hukumnya.


Molornya koordinasi antarinstansi berisiko menempatkan mereka dalam status yang tidak jelas ditahan, tetapi tidak segera diadili.


Nabil memastikan akan terus hadir setiap hari untuk memantau proses berkas, sekaligus memastikan tidak ada penundaan di luar kewenangan hukum.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang