Hakim Tolak Praperadilan Aktivis di PN Jaksel: Masyarakat Sipil Protes, Polisi Represif
NU Online · Senin, 27 Oktober 2025 | 11:30 WIB
Situasi memanas usai hakim tunggal menolak praperadilan Khariq Anhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Senin (27/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Penolakan permohonan praperadilan terhadap aktivis Khariq Anhar memicu aksi protes dan kegaduhan di halaman Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Pasar Minggu, Jakarta, pada Senin (27/10/2025).
Putusan hakim tunggal yang menolak permohonan tersebut dinilai sebagai bentuk kegagalan hukum dalam melindungi hak berekspresi warga negara. Hal itu memantik kemarahan para aktivis masyarakat sipil yang hadir dalam aksi solidaritas untuk mendukung Khariq.
Berdasarkan pantauan NU Online, situasi di depan PN Jaksel sempat memanas setelah pembacaan putusan praperadilan. Para aktivis yang membawa poster bertuliskan “Bebaskan Kawan Kami” terlibat adu dorong dengan aparat kepolisian yang represif.
Beberapa poster dirampas dan dirobek secara paksa oleh petugas. Sejumlah aktivis juga mengalami tindakan represif berupa dorongan, gertakan, hingga penarikan paksa dari area pengadilan.
Ironisnya, meski puluhan polisi hadir untuk mengamankan jalannya sidang, pihak kepolisian sebagai termohon justru tidak hadir di ruang persidangan.
Perwakilan Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi (GMLK), Balqis, menyatakan bahwa kehadiran mereka di pengadilan merupakan bentuk dukungan terhadap Khariq dan sejumlah aktivis lain yang dianggap menjadi korban kriminalisasi.
“Kami datang untuk mendukung kawan kami, Khariq, Delpedro, Syahdan, dan Muzaffar. Tapi sangat disayangkan, hakim menolak permohonan praperadilan meski bukti-bukti menunjukkan adanya tindakan represif,” ujar Balqis.

Ia menilai penolakan permohonan tersebut mencerminkan kegagalan pengadilan dalam melihat konteks kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Balqis menegaskan bahwa tindakan Khariq hanyalah bentuk satire, bukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan.
“Khariq bukan penjahat. Dia hanya melakukan ekspresi kritik yang sah. Tapi negara, di bawah rezim Prabowo-Gibran yang semakin otoriter, justru menjadikan itu sebagai kriminalisasi,” lanjutnya.
Dalam orasinya, Balqis juga menyinggung soal perlakuan aparat terhadap simbol-simbol protes seperti poster yang sering dianggap ancaman.
“Poster bukan senjata. Poster bukan gas air mata atau pentungan. Itu adalah bentuk ekspresi kami. Kami hanya ingin berbicara bahwa kami bersama Khariq dan kawan-kawan. Kami di sini bersama demokrasi dan keadilan,” tegasnya.
Selain sidang Khariq, hari itu juga dijadwalkan sidang praperadilan bagi sejumlah aktivis lain, yaitu Delpedro, Muzaffar, dan Syahdan, yang juga disebut sebagai tahanan politik. Para aktivis menilai rangkaian kasus tersebut sebagai tanda semakin sempitnya ruang demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua