Nasional

Pengalaman Panda Nababan tentang Tekanan Rezim Orde Baru Soeharto terhadap Aktivis dan Wartawan

Ahad, 9 November 2025 | 20:00 WIB

Pengalaman Panda Nababan tentang Tekanan Rezim Orde Baru Soeharto terhadap Aktivis dan Wartawan

Panda Nababan saat menceritakan pengalamannya mendapat tekanan dari Rezim Orde Baru Soeharto dalam diskusi Pro Kontra Gelar Pahlawan Soeharto yang digelar di Kantor Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII), Jakarta, Ahad (9/10/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube)

Jakarta, NU Online

Wartawan senior Panda Nababan membagikan pengalaman pribadinya sebagai saksi hidup masa Orde Baru, ketika rezim Soeharto menggunakan isu Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menekan lawan politik dan membungkam kritik publik.


Dalam kesaksiannya, Panda menggambarkan kehidupan aktivis dan wartawan yang penuh ketakutan karena ancaman penangkapan dan sensor negara.


Kesaksian tersebut disampaikan Panda dalam Diskusi Pro Kontra Gelar Pahlawan Soeharto yang digelar di Kantor Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII), Jakarta, pada Ahad (9/10/2025).


Panda menuturkan bahwa dirinya pernah merasakan secara langsung dituduh sebagai orang yang terlibat PKI. Tuduhan itu digunakan untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap mengganggu kekuasaan.


Ia bersama Taufiq Kiemas pernah ditahan tanpa bukti hanya karena aktif dalam organisasi mahasiswa.


“Saya dan Taufiq Kiemas termasuk orang yang di-PKI-kan. Kami ditahan tanpa bukti, hanya karena aktif berorganisasi. Soeharto memelihara isu PKI untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Ini bukan cerita, tapi fakta yang saya alami,” kenang Panda.


Sebagai wartawan, Panda merasakan ketatnya sensor dan tekanan terhadap media. Banyak topik yang dilarang diberitakan, terutama jika menyangkut militer atau keluarga Cendana. Situasi tersebut membuat wartawan bekerja di bawah ancaman yang terus-menerus.


“Kami hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Tidak bisa menulis soal hal-hal yang dianggap sensitif, apalagi menyangkut anak-anak Cendana,” ujarnya.


Panda juga mengenang kunjungannya ke Pulau Buru, lokasi pembuangan tahanan politik yang dituding terlibat PKI. Menurutnya, pulau itu menjadi simbol kekejaman rezim terhadap warga negara yang tidak diberikan proses hukum yang adil.


“Pulau Buru adalah noda hitam yang sukar dihapus dari sejarah bangsa. Saya pernah ke sana, bertemu langsung dengan Pramoedya Ananta Toer, dan mendengar sendiri betapa kejamnya kehidupan di sana,” katanya.


Kekerasan kepada warga NU Losarang

Selain itu, ia mengingat kekerasan yang menimpa warga Nahdlatul Ulama (NU) di Losarang, Indramayu, menjelang Pemilu 1971. Ia menyebutkan bahwa pesantren dan basis-basis massa NU menjadi sasaran penyerangan.


“Saya melihat sendiri basis-basis NU dihancurkan, pesantren dirusak, dan Al-Qur’an berserakan. Itu bukan fitnah, tapi pengalaman nyata yang saya alami,” ungkapnya.


Panda juga menyinggung kebijakan Penelitian Khusus (Litsus) yang digunakan pemerintah untuk menyeleksi dan mengawasi latar belakang politik warga, termasuk pegawai negeri. Eks tapol, misalnya, diberi KTP dengan kode ET yang berdampak pada keterbatasan hak sosial dan politik mereka.


“Eks tapol diberi KTP dengan kode ET seumur hidup. Itu cara halus menyingkirkan mereka dari kehidupan sosial dan politik,” jelasnya.


Menurut Panda, kekuasaan Soeharto berlangsung dengan logika pengendalian politik yang sangat personal. Tokoh-tokoh nasional yang dianggap tidak sejalan, seperti Jenderal Hoegeng dan A.H. Nasution, disingkirkan dari lingkar kekuasaan, termasuk Jenderal Soemitro dan Benny Moerdani yang hubungan politiknya memburuk setelah menyentuh kepentingan ekonomi keluarga Cendana.


“Soeharto tidak mau satu atap dengan orang yang dianggap musuhnya. Itu menunjukkan betapa personal dan otoriternya kekuasaan pada masa itu,” kata Panda.


Panda kemudian mengutip ucapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menurutnya pernah menyindir karakter kekuasaan Soeharto.


“Sultan bilang, ‘Saya pikir saya yang feodal, ternyata dia lebih feodal. Saya pikir saya lebih kaya, ternyata dia lebih kaya.’ Bahkan Sultan sendiri yang memerintahkan Serangan Umum 1 Maret, bukan Soeharto seperti yang diklaim kemudian,” tutur Panda.


“Apakah dia (Soeharto) pantas jadi pahlawan atau tidak? Saya pikir masyarakat Indonesia juga sudah kritis dan mengalami langsung,” pungkasnya.