Samudera Dwija
Penulis
Suara alarm berdering pukul lima pagi. Sam mengusap wajahnya yang lelah, bersiap memulai hari yang sama seperti kemarin dan besok penuh ketidakpastian. Di sampingnya, Sari masih tertidur dengan wajah yang tampak lelah meski sedang beristirahat. Bayinya, Dika, masih terlelap di ranjang kecil di sudut kamar.
Sam berjalan ke dapur sederhana, menyeduh kopi dengan gula seadanya. Tangannya gemetar sedikit bukan karena dingin, tapi karena beban pikiran yang tak kunjung hilang. Empat ratus ribu rupiah per bulan dari honor mengajar, itu yang bisa ia andalkan. Belum cukup. Tak akan pernah cukup untuk keluarga kecilnya.
"Pak Sam, sudah mau berangkat?" sapa Sari yang terbangun, suaranya parau.
"Iya, Dik. Setelah ngajar nanti saya langsung ambil motor, jadi ojol lagi."
Sari hanya mengangguk. Mereka sudah tak perlu banyak bicara tentang kesulitan hidup. Keduanya tahu, keduanya merasakan.
Baca Juga
Cerpen: Perempuan Kedua
Di SMP Negeri 15, Sam mengajar dengan penuh semangat meski honor yang diterima tak sebanding dengan dedikasi. Murid-muridnya menyukainya. Ia selalu sabar menjelaskan, tak pernah marah meski kadang ada yang bandel. Tapi Sam tahu, statusnya sebagai Guru Tidak Tetap membuatnya seperti burung hinggap di dahan, bisa kapan saja terjatuh.
Hari itu, berita duka mengguncang. Rekan sesama guru honorer tewas terlindas kendaraan dinas saat ikut demonstrasi menuntut nasib GTT yang tak jelas. Sam merasakan luka yang mendalam bukan hanya karena kehilangan teman, tapi karena ia tahu, mereka semua berjuang untuk hal yang sama.
"Kita harus turun, Sam!" teriak Andi, rekan GTT lainnya. "Berapa lama lagi kita diperlakukan seperti ini?"
Sam terdiam sejenak, memikirkan Sari dan Dika di rumah. Tapi kemudian ia ingat wajah temannya yang tewas, ingat perjuangan mereka selama ini.
"Ayo," kata Sam akhirnya.
Selama tiga hari, Sam ikut turun ke jalan. Tiga hari ia meninggalkan kelas, meninggalkan murid-muridnya, untuk berjuang agar suara mereka didengar. Di balik helm ojol yang sering ia pakai, air mata mengalir bukan karena gas air mata, tapi karena frustrasi yang memuncak.
Ketika kembali ke sekolah, Sam disambut kenyataan yang lebih pahit. Pak Hartono, Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum, memanggilnya ke ruangan.
"Sam, ada perubahan jadwal. Jam mengajarmu dikurangi. Ada GTT baru, mata pelajaran yang sama denganmu."
Baca Juga
Danarto Pentashih Cerpen Pertama Gus Mus
Sam merasa dunia berputar. "Pak, kenapa saya? Saya sudah tiga tahun di sini, murid-murid juga..."
"Ini keputusan dari atas, Sam. Maaf."
"Keputusan dari atas?" Sam bangkit dari kursi, suaranya meninggi. "Pak, ini soal hidup saya! Empat ratus ribu itu sudah tidak cukup, sekarang mau dipotong lagi?"
Baca Juga
Cerita Pendek: Perjanjian Kedua Iblis
"Kamu tahu sendiri, Sam. Status GTT memang begini. Kalau tidak suka, ya cari kerja lain."
Kalimat itu seperti tamparan. "Cari kerja lain?" Sam tertawa pahit. "Pak, saya sarjana pendidikan. Saya guru! Ini panggilan hidup saya!"
"Ya sudah, kalau begitu terima saja keputusannya. Ini urusan Kepala Sekolah, bahkan urusan Dinas. Saya cuma pelaksana."
"Pelaksana?" Emosi Sam memuncak. "Bapak Wakasek, tapi Bapak yang ngatur jadwal! Bapak yang bisa kasih masukan!"
Baca Juga
Cerita Pendek: Gambar Buatan
Perdebatan semakin panas. Kata-kata kasar terlontar. Tiba-tiba, Sam mendorong Pak Hartono. Pak Hartono membalas. Perkelahian pecah, sesuatu yang tak pernah Sam bayangkan akan ia lakukan.
Untung, beberapa guru lain segera melerai. Tapi kerusakan sudah terjadi. Lebih parah lagi, seorang siswa merekam kejadian itu dan memposting ke media sosial. Dalam hitungan jam, video itu viral.
Ruang Dinas Pendidikan terasa mencekam. Sam duduk berhadapan dengan beberapa pejabat, merasa seperti penjahat yang diadili.
Baca Juga
Cerita Pendek: Alhamdulillah
"Bapak Sam sudah mencoreng nama baik pendidikan," kata Kepala Bidang dengan nada dingin. "Video itu sudah ditonton ribuan orang."
"Pak, saya minta maaf. Tapi tolong dipahami situasi saya."
"Tidak ada alasan untuk kekerasan, Pak Sam. Tapi kami masih bisa memberikan solusi. Ada SMP di daerah dalam, butuh guru. Jam mengajar bisa dipenuhi di sana."
Sam terdiam, SMP Satu Atap. Daerah pinggiran yang jaraknya hampir dua jam dari rumah. Dengan kondisi transportasi yang sulit dan biaya yang mahal.
Baca Juga
Cerita Pendek: Nyeser
"Ini bukan solusi, Pak. Ini pembuangan."
"Terserah Bapak mau menyebutnya apa. Yang jelas, ini satu-satunya pilihan kalau masih mau jadi guru."
Pagi itu, Sam berangkat ke SMP Satu Atap untuk hari pertamanya. Perjalanan yang melelahkan, biaya transport yang menggerus honor, tapi ia tetap pergi. Di SMP baru itu, ia disambut oleh Kepala Sekolah yang ramah.
"Selamat datang, Pak Sam. Kami senang ada guru yang mau ke sini. Anak-anak butuh guru seperti Bapak."
Sam melihat sekeliling. Sekolah yang sederhana, bahkan lebih sederhana dari tempat ia dulu mengajar. Tapi mata anak-anak di sana berbinar penuh harapan ketika melihatnya masuk ke kelas.
"Selamat pagi, Bapak Guru!"
Suara mereka yang riang membuat dada Sam sesak. Ia ingat mengapa ia memilih jadi guru. Bukan karena honor, bukan karena status, tapi karena mata-mata polos ini yang percaya bahwa pendidikan bisa mengubah hidup mereka.
Di rumah, Sam menceritakan hari pertamanya pada Sari. "Anak-anak di sana luar biasa, Ri. Mereka semangat belajar meski sekolahnya jauh dari sempurna."
"Syukurlah kalau Bapak mulai senang," kata Sari sambil menimang Dika.
"Tapi perjalanannya jauh, biaya transport mahal. Praktis, gaji saya terpotong separuh."
Mereka terdiam. Realita memang tidak berubah. Sam masih GTT, masih terjebak dalam sistem yang tidak adil, masih harus berjuang tiap hari untuk bertahan hidup.
Tapi di mata anak-anak SMP Satu Atap, Sam melihat harapan. Mungkin ia tidak bisa mengubah nasibnya sendiri, tapi ia bisa mengubah masa depan mereka. Dan mungkin, suatu hari nanti, salah satu dari mereka akan ingin ada seorang guru yang rela menempuh perjalanan jauh, yang tetap mengajar dengan hati meski sistem tidak adil padanya.
"Apakah demikian nasib seorang GTT?" gumam Sam menatap langit malam.
Pertanyaan itu mengambang di udara, menunggu jawaban dari sistem pendidikan yang masih carut-marut, dari pemerintah yang masih tutup mata, dari masyarakat yang mulai lupa bahwa guru adalah ujung tombak peradaban.
Sam tahu, ia bukan satu-satunya. Di seluruh Indonesia, ribuan GTT lainnya mengalami nasib serupa: terpinggirkan, tapi tetap mengajar dengan hati.
Dan besok, Sam akan bangun lagi pukul lima pagi, menempuh perjalanan panjang ke SMP Satu Atap, membawa harapan dalam tas lusuhnya, karena itulah yang guru lakukan: tetap mengajar, meski dunia tidak selalu adil pada mereka.
"Seorang guru memengaruhi keabadian; ia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir." – Henry Brooks Adams
Samudera Dwija, nama pena dari Siswanto, Kepala Sekolah SDN 1 Bangsri Nganjuk, Jawa Timur. Ia juga Sekretaris MWCNU Kertosono 2022-2027. Ia tengah menyiapkan karyanya dalam bentuk buku berjudul Samudera Guru Terjepit hingga Melejit dan Pitutur Luhur Intisari Ngaji para Kiai.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua