Cerpen

Tanah Eyang

Ahad, 3 Juni 2012 | 14:33 WIB

Oleh: Asa Kamajaya


EYANG mewariskan tanah kepada ayah. Konon dulu tanah itu dari bekas perkebunan Belanda yang ditinggalkan begitu saja saat kalah perang dengan Jepang. Eyang dan teman-temannya yang bekerja pada perkebunan Belanda itu, sebelum pergi lahan perkebunannya dipersilahkan untuk dimanfaatkan oleh warga dan kelak jika Belanda kembali tanah itu akan diambil kembali.

<>Maksud Belanda jelas, agar lahan perkebunan itu tidak dimanfaatkan oleh Jepang.

Lokasi tanah itu memang strategis. Ketinggian dari permukaan laut  900 meter. Udaranya sejuk. Kontur tanahnya elok terbentuk secara alami. Dan air mengalir jernih sepanjang musim. Tanah Eyang juga berdekatan dengan lokasi wisata alam yang menyuguhkan pesona alam pegunungan. Tidak bisa dikatakan luas, tetapi untuk ukuran warga di sekitar, tanah ayah yang paling luas. Letaknya paling strategis, mudah dijangkau dari jalan raya. 

Itu sebabnya barangkali, sudah banyak orang-orang yang berniat membeli tanah ayah. Seorang pengusaha perhotelan secara khusus pernah menemui ayah untuk membeli tanahnya dengan harga berapapun. Akan tetapi ayah tetap bersikukuh tak mau melepasnya.

“Makasih Pak, saya masih ingin berteman dengan tanah itu,” jawab ayah diplomatis.

“Nanti kalau Bapak berubah pikiran, hubungi saya,” seraya menyerahkan kartu nama kepada ayah.

Ayah mengangguk sambil tersenyum. Saya penasaran, dengan Ayah. Saya pun memberanikan diri untuk bertanya. “Mengapa ayah tak mau melepas tanah itu? Coba kalau dijual, uangnya bisa digunakan membeli kembali tanah yang lebih luas kan, Yah?” 

“Tidak semua tanah cocok untuk menanam sayur-sayuran organik,” jawab ayah.  Saya tahu, ayah menyembunyikan alasan sebenarnya.

Sejak itu saya tidak bertanya lagi kepada ayah. Tetapi tindakah ayah sungguh tidak saya mengerti, dan banyak orang juga yang bingung, ketika tiba-tiba memutuskan memindahkan makam Eyang dari Tempat Pemakaman Umum. Jasad Eyang yang sudah tinggal tulang belulang, kembali dibungkus kain kafan, untuk kemudian dipindahkan ke tanah dekat lokasi wisata. 

“Kenapa jasad Eyang dipindah, Yah?” tanyaku.

“Biar orang-orang berminat membeli tanah itu dengan uangnya yang banyak mengurungkan niatnya,” jawab ayah. Dan, kata ayah, untuk ingatan kita semua kalau sampai menjual tanah itu, dengan sendirinya kita juga menjual makam eyang.

Jelas kata-kata itu ditujukan kepada saya sebagai anak semata wayangnya. Semakin jelas ketika ayah juga mengutarakan keinginanan yang sama, kelak jika meninggal minta dimakamkan disamping eyang juga. 

“Biarlah eyang bersemayam di tanah yang diperjuangkannya sampai akhir hanyatnya. Eyang telah membuktikan kepada ayah, dan semua orang di desa ini, prinsip sedhumuk bathuk senyari bumi,” ujarnya.

Pelan-pelan saya mulai ada gambaran mengapa ayah bersikeras menampik tawaran untuk melepas tanah itu dengan harga berapapun. Mulai mengapresiasi pula  mengapa ayah sampai memindahkan makam eyang ke tanah yang diwariskannya.  Banyak yang keberatan dengan pemindahan makam Eyang. Ayah dituding sebagai tidak menghormati lingkungan. Merusak nuansa dan fanorama daerah pariwisata. 

Ayah tidak peduli. “Ini tanah kami, lagi pula tidak melanggar aturan apapun,” jawab ayah tegas. 

Ayah semakin atraktif. Makam Eyang yang baru dipindah itu kemudian dibangun. Layaknya makam keramat saja.

“Harganya tanahnya pasti jatuh. Tidak semahal sebelumnya. Makam itulah penyebabnya,” ujar yang lain. Seraya menjelaskan, harga tanah itu ditentukan oleh beberapa hal. Deket tidaknya dengan makam, banjir dan ada tidaknya listrik tegangan tinggi  di sekitarnya.  

“Harga-harga tanah di sekitarnya pasti ikut jatuh juga,” ujar yang lain.

“Tetapi apa pedulinya, saya tak punya tanah di sekitar sini juga kok,” timpal yang lain.****

MENGAPA Ayah memindahkan makam Eyang dan bertindak sangat atraktif? 

Itu pertanyaan yang menggelayut dalam benak saya. Pelan-pelan saya mulai menelusuri, layaknya seorang sejarawan. Sebagai anak semata wayang, saya harus membela ayah dengan selentingan-selentingan yang muncul dari mulut ke mulut. Selama ini saya hanya diam dan dalam hati ikut menyalahkan ayah. Gara-gara tindakannya harga-harga tanah akan turun.

“Jangan risaukan perkataan orang itu, Ndra, orang-orang yang berkata itu memang dari dulu tidak sejalan dengan ayahmu,” jelas Wak Udin, “Memang orang-orang itu selalu mencari-cari kesalahan ayahmu.”

“Ada permasalahan apa memang, Wak?” rasa ingin tahu saya tumpahkan habis-habisan.

Wak Udin lalu cerita. Tanah Eyang memang menjadi rebutan banyak kalangan dari dulu.  Eyangmu dulu bekerja pada perkebunan Belanda, tetapi diam-diam bergabung dengan kaum republik yang memperjuangkan kemerdekaan. Eyang jadi agen. Mensupport informasi kepada kaum republik dan pada sisi lain, melakukan dismiss terhadap Belanda. Itu sebabnya, Eyang masuk ke dalam Legium Veteran Republik Indonesia. Uang pensiunan bulanan dikumpulkan untuk membeli tanah warga yang menjualnya. Itu sebabnya tanah Eyang menjadi yang paling luas di antara warga yang lain. Tanah Eyang makin bertambah luas. 

Karena luas itulah saat ada keputusan politik pemberlakukan UU Agraria, tak urung tanah eyang menjadi sasaran aksi sepihan. Tanah air diduduki dan diklaim sebagai telah diambil alih. Dalihnya tanah untuk rakyat. 

“Tanah Eyangmu diduduki oleh anggota PKI, tanahnya dibuat kapling-kapling diklaim menjadi pemilik beberapa orang. Sambil berteriak ganyang syetan desa,” ujar jelas Wak Udin. 

Kelemahan Eyang, tidak pernah mau mengurus surat-surat tanah. Statusnya tetap tanah erpach, hanya berbekal pethok C setiap kali hendak membayar pajak.  Padahal sejak tahun enampuluhan mestinya sudah bisa menjadi hak milik, mendapatkan sertifikat karena telah menguasai tanah itu lebih dari dua puluh tahun. 

“Tetapi eyangmu tak mau mengurus. Alasannya, untuk kebersamaan. Ia mau mengurus jika dilakukan bersama-sama. Ketika eyangmu menawarkan kepada pemilik tanah yang lain, jawabannya bukan suatu yang mendesak.” 

Karena itu pula posisi eyang menjadi tidak kuat. Pada tahun 1980-an, saat kawasan Pariwisata ini dibangun oleh investor dari ibu kota. Dengan alasan proyek negara, tanah-tanah yang terkena proyek itu akan mendapat ganti rugi yang jauh dibawah standar. Eyangmu orang pertama yang berdiri pada barisan paling depan.

Eyang dan warga tak mendapatkan ganti rugi apa-apa. “Pihak desa mengeluarkan keterangan bahwa tanah itu milik desa. Eyang dan pemilik tanah itu, tanda tangannya dipalsu, seolah-olah suka rela menyerahkan tanah itu untuk kepentingan pembangunan”

Dengan keterangan desa itu, memuluskan jalan pihak investor untuk memulai pembangunan pariwisata. Pohon-pohon yang rindang mulai ditebang, beku dan bulldozer siang malam meraung-raung. Sementara dipinggiran proyek dijaga oleh aparat keamaman dengan senjata yang siap menyalak. 

Mendengar cerita Wak Udin itu, dada saya sesak. Darah mengalir deras dan panas sampai ke ubun-ubun. Pelan-pelan saya menarik napas dalam-dalam. 

“Eyangmu mengalami shock. Dan mulai sakit-sakitan dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dikhianati oleh desa. Dikhianati oleh seorang kepala desa yang saat mencalonkan diri, memanfaatkan pengaruh eyangmu untuk meraup dukungan sampai bisa mendapat suara mayoritas,” cerita Wak Udin.

Ayah saat itu mahasiswa semester akhir fakultas hukum di sebuah perguruan tinggi di ibu kota. Terpaksa harus mengorbankan kuliahnya. Tak ada lagi biaya karena sumber penghasilan eyang, tanah itu  telah diambil paksa. Sementara tabungan eyang yang tersisa, buat membiayai pengobatannya.   

Ia pulang kampung dan bersama-sama warga memperjuangkan haknya. Ayah didukung teman-teman mahasiswanya, mengorganisir para korban. Berbagai aksi pun dilakukan dari menggelar demo di ibu kota negara, di lokasi pembangunan tetapi tak ada pengaruh apa-apa.

Sehabis mendengarkan informasi dari Wak Udin. Sehabis makan malam, saya mencoba mengobrol dengan Ayah. 

“Ananda sedikit-sedikit memahami tindakan Ayah memindahkan makam Eyang itu,”  kataku mencoba membuka pembicaraan.

“Memahami bagaimana?” kejar Ayah.

“Ayah kan pernah mengatakan eyang sampai akhir hayatnya menganut prinsip sedhumuk bathuk senyari bumi” kata saya mencoba mengingatkan ucapan yang pernah dikemukakannya. Belum sempat ia berkomentar, saya langsung meneruskan, “Termasuk juga dalam hal ini Ayah sendiri.”

Ayah kemudian cerita tentang eyang. Karena keteguhan dan kegigihannya dalam membela hak-haknya, eyang diberi julukan bermacam-macam. Dari tidak mendukung pembangunan, mementingkan sendiri, yang paling menyakitkan adalah eyang dituduh menggunakan ilmu hitam.

“Dulu ada pohon besar di tanah itu, yang ditebang tiga hari tiga malam tidak kelar-kelar. Tiap kali yang menebang berhenti, pohon itu kembali tak ada goresan sama sekali,” cerita Ayah seraya meneruskan, “karena pohon besar itu ada di tanah Eyang, maka eyang dituduh menggunakan ilmu hitam untuk menghambat proyek itu.” 

“Siapa yang dengan tega memberikan tuduhan itu?” tanyaku penasaran.

“Tak jelas, sumbernya dari mana. Tetapi itu berkembang dari mulut ke mulut” 

“Lalu pohon itu berhasil di tebang kan? Buktinya sekarang tidak ada?” kejarku.

“Iya, khusus untuk menebang pohon itu mendatangkan tenaga dari Singapura. Katanya, ia tak mempan ilmu hitam karena makan babi,” jelasnya.

Ayah kemudian meneruskan. Tudingan Eyang menggunakan ilmu hitam pun makin menjadi-jadi. Ketika pihak-pihak yang terlibat dalam pemalsuan dokumen tanah eyang dan warga mendadak sakit, tak bisa diobati secara medis. Tudingan kepada eyang pun menjadi-jadi. 

“Itu yang makin membebani pikiran Eyang, sampai kemudian menambahkan sakitnya,” ujar ayah datar.

“Lalu, siapa yang melakukan itu, Yah? Ada pohon ditebang tetapi kembali, dan kemudian pihak-pihak yang terlibat pemalsuan dokumen satu persatu sakit tak bisa diobati dokter?” tanyaku.

Ayah bilang tidak tahu. “Itu mungkin bagian dari keyakinan bahwa do’a orang teraniaya ijabah,” jawab Ayah. 

Kata Ayah pula, para korban memang sejak ditanahnya diambil banyak melakukan ikhtiar, dengan cara dan keyakinan masing-masing, meskipun tidak tampak secara wujud. 

Ayah lalu cerita, tidak mudah memang memperjuangkan hak-haknya. Tekanan psikis dan fisik, tak henti-hentinya dilakukan. Pernah suatu malam, tiba-tiba rumah di kasih tanda silang merah persis di kaca jendela.

“Sudahlah, semua sudah berlalu dan mereka tampaknya lupa satu prinsip yang dipegang petani. sedhumuk bathuk senyari bumi,” ujar Ayah sambil tersenyum.
*****

KALAULAH tanah Eyang kini kembali ke tangan Ayah. Semua tak lebih karena momentum politik yang terjadi pada tahun 1998. Saya waktu itu masih kelas lima SD ketika di rumah banyak kumpul-kumpul warga yang tanahnya dulu diambil. Samar saya ingat menyebut-nyebut soal pendudukan kembali tanah. Saya juga ingat, sebelumnya dilakukan diskusi panjang dari sudut pandang hukum pertanahan. Saya ingat, dengan mudah warga mengambil alih kembali tanah itu.  

Dengan caranya sendiri, masyarakat menuntut hak-hak politik, hak ekonomi, sosial-budaya, yang selama ini dikekang bahkan dirampas atas nama pembangunan. 

Saya ingat persis, melalui televisi, pengambilan tanah itu oleh masyarakat bukan hanya di tempat saya. Di Cianjur, di sebuah kawasan pariwisata di kaki Gunung Gede, lapangan golf ramai-ramai ditanami singkong dan berbagai jenis tanaman lainnya. 

Di Lampung pun demikian, beberapa perkebunan Tapioka milik keluarga pejabat tinggi di ibu kota, ramai-ramai diambil alih oleh masyarakat. 

“Tanah yang diambil dari rakyat, harus dikembalikan kepada rakyat,” demikian salah satu spanduk yang sempat terekam kamera televisi. 

Tak ada aparat keamanan saat warga mengambil alih tanah eyang yang dirampas. Beberapa anggota DPRD II yang bukan dari partai pemerintah tampak hadir dan memberikan orasi politiknya secara berganti-ganti. Tak jelas apa yang disampaikan. Yang terdengar hanya sayup-sayup yel yel hidup rakyat, hidup rakyat, hidup rakyat.

Saya juga masih ingat betul. Warga secara bersama-sama melakukan shalat tasbih  dan melakukan sujud syukur. Sujud syukur. Ada beberapa orang yang melakukan dengan waktu yang lama, hingga sampai ada yang mengira ia mengalami kejang dan tak sadarkan diri. 

Sejak itu ayah tekun bertani. Kulit ayah menjadi hitam legam karena terbakar mata hari. Ayah membudidayakan sayur-sayuran yang ditanam secara organik untuk memenuhi kebutuhan beberapa restoran dan rumah makan di ibu kota. Konon sayur-sayuran itu juga dipasok untuk memenuhi beberapa pejabat tinggi. 

Pelan dan pasti kehidupan keluarga meningkat. Ayah juga secara pelan-pelan membeli tanah dari hasil budidaya tanaman itu. Tidak bisa dikatakan luas, tetapi untuk ukuran di desa, ayahlah yang tanahnya paling luas sekarang. Ada lima hektar.

“Ndra, kita harus selalu ingat eyang dengan cara mengirimkan do’a tiap saat,” pinta ayah kepada saya suatu ketika. Saya mengangguk saja. Dalam hati saya menduga-duga pasti ada sesuatu hal penting yang akan ayah sampaikan.

“Keinginan banyak orang yang ingin membeli tanah Eyang itu makin banyak saja,” lanjut ayah. Saya diam saja sambil menunggu cerita selanjutnya. “Salah satu yang berminat adalah kawan ayah sendiri, yang dulu saat mahasiswa membantu ayah melakukan advokasi tanah eyang,” ujarnya.

Saya mengerti ayah dalam tekanan.

“Siapa teman Ayah itu?” tanyaku yang juga penasaran.

“Nanti Kamu akan tahu Ndra,” jawabnya. 

”Kawan ayah itu seorang politisi yang kini di Senayan” lanjut ayah dengan suara yang lirih tetapi dalam.

“Apa Ayah tidak bisa tegas, menolak secara halus?” kataku.

“Itulah persoalannya. Ayah sudah sodori tanah lain, tetapi ia tak mau. Kawan ayah hanya memerlukan beberapa meter saja. Kawan ayah sudah membeli tanah dan sekarang sedang mulai dibangun villa. Persis di samping kiri tanah kita,” jelasnya.

“Memang perlu beberapa meter persegi, Yah?”

“Ya seluas ukuran kolam renang standar olimpiade, Ndra.”

“Hah!?” saya terkejut.

Saya tak bisa terlalu jauh terlibat. Persoalannya memang tak sekedar masalah jual beli tanah. Ada masalah perkawanan. Lagi pula teman ayah itu pernah membantu memperjuangkan tanah itu dengan cara menggalang dukungan dari ibu kota. Saya juga tahu persis, ayah bukan tipe orang yang tak tahu balas budi. Apalagi selama bertahun-tahun juga, saat tanah eyang belum kembali, ayah banyak ditolong teman-temannya di ibu kota untuk mendapatkan pekerjaan.

Termasuk soal jaringan konsumen hasil budidaya tanah peninggalan Eyang. Lancar tak lepas dari keterlibatan teman-teman Ayah. Tanpa jaringan kawan-kawan Ayah di ibu kota, sudah pasti, tak akan mudah. Ayah pernah bercerita, jaringan pasar hasil budidaya pertanian itu suatu pelik mata rantainya. 

“Banyak pemain baru yang tidak mengerti menjadi korban,” Ujar Ayah suatu ketika.

Jika Ayah menolak, kuatir relasi Ayah akan marah dan kemudian menghentikan untuk mengkonsumsi hasil budidaya dari tanah Eyang. Itu artinya, maka harus membangun pasar baru dan pasti bukan suatu yang mudah untuk dilakukan. Sementara hasil budidaya dari tempat lain, sudah lama berupaya merebut jaringan pasar Ayah. Bukan main-main, di belakangnya, pemain besar dengan kekuatan yang sistematis pula. Jadi kalaulah jaringan Ayah selama ini terjaga, lebih karena proteksi.

“Baiklah, ayah akan putuskan dalam waktu satu minggu ini. Keputusan yang imbang, semua menerima. Tidak ada pihak yang merasa disakiti dengan keputusan yang akan ayah ambil” ujarnya dengan nada yang sangat berat.” Ayah akan kembalikan tanah Eyang kepada Eyang juga” tamabahnya. Meskipun saya mengangguk, sungguh saya sesungguhnya tidak tahu bagaimana formulasinya.

Seminggu kemudian baru saya mengerti. Saat lewat ke lahan pertanian saya membaca sebuah papan dari kayu dengan latar putih dan tulisan berwarna hitam. Isinya “Tanah Ini Telah Diwakafkan Untuk Eyang”. 

Saya menatap tajam dan meneliti aksara demi aksara kalimat itu. Takut salah baca. Dalam hati saya berkata, “inikah keputusan Ayah yang disebutnya sebagai imbang, semua menerima? Tanah eyang telah dikembalikan untuk eyang. 

Suatu keputusan yang tidak diduga sebelumnya. Semula saya membayangkan Ayah akan kompromi dan bernegosiasi soal luas tanah yang diminta oleh kawannya agar tak seluas kolam renang standard olimpiade. Dengan cara demikian, tidak ada yang merasa disakiti. Perkawanan tetap utuh terjaga dan jaringan pasar yang dikhatirkan akan diputus, juga tidak akan terjadi. 

Samar-samar saya ingat perkataan Ayah. “Menjual tanah warisan eyang sama dengan menjual makam eyang”.  Â