Anakku mendorong kotak usang berwarna cokelat tua. Ia memberi isyarat dengan jari mungilnya agar aku mendekat dan membuka kotak itu.
"Adek dapat kotak ini dari mana?
"Bu … bu … a .. tata … na …" ucapnya sambil menunjuk ke arah kamar yang pintunya terbuka.
Pada saat membuka kotak, aku berpikir pasti kemarin malam Mas Wicaksono lupa lagi mengunci pintu kamar. "Ibu bantu buka, ya, Sayang. Tapi Adek tidak boleh ke kamar nenek lagi, ya. Di sana banyak debu. Nanti Adek bersin-bersin. Hacuuuuu."
Ia tertawa melihatku berpura-pura bersin.
Isi kotak itu ternyata beberapa amplop. Kubuka perlahan salah satu amplop yang berwarna cokelat. Isi tulisan ditemani aroma kertas dan tinta yang mulai memudar, membawa ingatanku pada masa lalu.
Rianti, memang hanya kebencian yang bisa membuat kita benar-benar berpisah. Selain itu, semua hal tak kan mampu. Bencilah aku, aku pantas untuk menerimanya. Apa yang sudah aku lakukan tak pantas untuk dimaafkan...
Aku mengerenyitkan dahi membaca isi surat. Namun, rasa penasaran juga timbul di hatiku.
Aku akan selalu menyalahkan diriku karena membuat orang lain harus mengalami hari-hari yang berat. Berbahagialah. Terbanglah bersama burung-burung yang akan membawamu ke tempat yang paling indah.
Pambudi
Melihat nama yang tertera membuat perutku mual. Rasanya sangat jijik. Tak sudi lidahku mengucap nama itu. Dia laki-laki brengsek yang tidak tahu arti mencintai dan dicintai.
Aku bergegas ingin bangkit, menghanguskan semua tumpukan kertas yang bagiku sangat tidak penting. Tapi anakku menangis. Ia merengek agar aku membuka semua amplop. Mungkin, menurutnya, ini permainan tebak-tebakan berisi hadiah. Andai ia tahu bahwa bagi ibunya tumpukan kertas itu sumber petaka, mungkin ia yang akan mengambilkan korek untuk membakarnya.
Aku berupaya mengusir ingatan-ingatan yang mulai merambat di kepala. Laki-laki itu memang tidak tahu perasaan. Tapi tak dipungkiri, aku sering kalah dengan ratusan peristiwa indah yang pernah kami lalui. Sebelum insiden laknat itu terjadi, tak pernah sekali pun ia berlaku kasar atau tidak baik padaku.
Tapi ingatan itu buru-buru kutepis. Sudah selayaknya melupakan masa lalu. Sekarang aku sudah bahagia bersama suamiku. Ia laki-laki yang bertanggung jawab. Meski pekerjaan banyak menyita waktunya, ia tetap menempatkan keluarga sebagai nomor satu. Kami saling mempercayai.
Semua ini berkat Ibu. Beliau yang dulu menyadarkanku atas siapa itu Pambudi. Ibu berhasil menarikku dari lubang penderitaan hingga akhirnya aku menerima pinangan Mas Wicaksono.
Amplop kedua lagi-lagi berisi surat. Kali ini masih dengan nama yang sama. Tak mau kubaca. Lekas ingin kuabaikan. Tapi, sekilas kata ‘ibu’ yang tertera di dalamnya, membuatku merasa ingin tahu.
Saya mengerti kekhawatiran seorang Ibu pada gadis semata wayangnya. Saya tak bermaksud membawa Rianti susah. Saya mencintai putri Ibu dengan seluruh hidup saya. Saya akan berupaya berjuang dengan segala cara agar Rianti tidak hidup susah. Tapi saya tahu ini membutuhkan waktu yang lama. Tolong berikan kesempatan saya untuk membuktikan. Izinkan saya untuk singgah, melamar anak Ibu.
Pambudi
Aku penasaran untuk membaca surat yang lain. Tak pernah Ibu bercerita perihal surat menyurat dengan Pambudi. Ini semua terjadi tanpa sepengetahuanku.
Saya sudah mempertimbangkan semua yang telah Ibu sampaikan lewat surat kemarin. Bukan ancaman yang membuat saya gentar untuk melamar Rianti, tapi saya mengerti, putri Ibu sudah dibesarkan dengan segala kenyamanan, tak pantas bagi saya untuk mengajaknya dalam kubangan kesulitan.
Iya, saya hanya laki-laki yatim piatu yang masih beradu nasib untuk masa depan. Demi Rianti, saya akan mengakhiri hubungan kami. Tapi tolong, saya titip kebahagiaan Rianti. Saya tak akan berhenti mencintai anak Ibu.
Pambudi
Ingatanku tiba-tiba merebak. Jahitan yang sudah rapi tertutup, perlahan benangnya terurai satu per satu. Aku teringat ketika ibu mengajakku mengunjungi Simpang Timur. Ibu meyakinkanku bahwa Pambudi bukan laki-laki yang jujur. Aku tak percaya sampai melihat sendiri ia sekamar dengan Sekar, pelacur yang sedang jadi primadona karena kecantikannya.
Aku masih ingat kejadian malam itu. Kamar yang remang-remang, aroma minuman keras bercampur asap rokok menyambut kematian perasaanku. Laki-laki yang kucintai, yang telah menerima segala yang kupunya, termasuk tubuhku, berbaring di bawah selimut kusut dengan perempuan lain.
Penuh gairah Pambudi meremas tangan perempuan di hadapannya. Dibalas dengan ciuman liar dari perempuan di depannya.
Tanganku gemetar setelah membaca semua surat di hadapanku. Surat pertama, kedua, ketiga, dan semua isi surat dalam kotak itu berisi percakapan antara Mas Pambudi dan Ibu, juga surat-surat yang tak pernah sampai padaku. Oh, Ibu, mengapa tega melakukan ini?
Aku menangis memandang anakku. Malam itu kuputuskan untuk menitipkannya kepada tetangga yang sudah kuanggap seperti ibu. Aku segera menuju Simpang Timur, naik bus terakhir. Aku meyakini perempuan yang dulu bersama dengan Pambudi masih ada di sana dan pasti mengenaliku.
Kala itu, Simpang Timur tak begitu ramai. Tempat itu menebarkan kelembaban di udara, seperti goa yang tak henti meneteskan air. Bangunannya masih sama, berdiri di sudut desa, tersembunyi di balik bengkel tua dan pasar barang bekas yang tak pernah tidur.
Aku melihat Sekar duduk di salah satu kursi bersama beberapa lelaki. Kehadiranku membuatnya beranjak dari kursi dan menepi ke sudut ruangan. Aku mengikuti langkahnya. Wajah perempuan itu terlihat kurang nyaman tapi tak lama seuntai senyuman terbit dari bibirnya.
“Ada apa? Belum puas dulu menamparku?” tanyanya sinis.
Kujelaskan soal surat yang kutemukan, "Apa ada hubungannya denganmu?”
"Pulang saja, aku tak mau ikut campur lagi.”
Ia pergi meninggalkanku dalam ketidaktahuan yang menyedihkan. Aku manangis, kutarik lengannya dengan wajah memohon. Ia melepaskan tanganku. Terdiam. Akhirnya mengurungkan niat untuk pergi.
"Harusnya aku katakan padamu sejak lama,” kata Sekar mengawali ceritanya dengan hisapan rokok. “Dulu, aku dan Pambudi tidak kawin. Mungkin dia bukan laki-laki normal," lanjutnya.
"Tapi aku lihat kalian sudah...."
Sekar tertawa kecil mendengar ucapanku, "Dia hanya menyuruhku terus seperti itu sampai kau datang."
"Maksudmu?”
"Laki-laki lain membayarku. Dia tolol, membayarku demi orang yang dicintai. Entahlah, cinta memang rumit." Sekar meninggalkanku pergi, lalu kembali membawa sebotol air mineral. Ia menyodorkannya lalu memintaku untuk tenang.
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi. Kualihkan pandangan ke sisi lain agar Sekar tak melihat wajahku yang makin tak berdaya. Dan tepat ketika aku mulai mengingat semua yang terjadi, mataku menangkap sosok laki-laki yang kusayangi, kali ini bukan Pambudi.
"Kamu kenal laki-laki itu?" tanyaku mengajak matanya melihat ke arah yang kumaksud.
"Dia tamu khusus."
“Sering ke sini?"
"Sejak aku masih perawan sudah mampir ke sini. Kau kenal?"
Tak ada yang bisa kulakukan. Langit seperti menimpa tubuhku. Aku hanya mampu menutup seluruh wajah. Menangis penuh sesal akan semua yang telah terjadi. "Ibu …"
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua