Jember, NU Online
Dewasa ini pragmatisme seperti menjadi ideologi dalam kehidupan masyarakat. Kecenderungan pola pikir yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat, terus menggerogoti idealisme yang semestinya dijaga dan dipertahankan. Sementara di sisi lain, kapitalisme masih menghantui sistem ekonomi Indonesia.
Dalam kondisi yang seperti itu, masyarakat tidak boleh kehilangan pegangan. Para pemuda harus bijak menjadikan Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai manhajul fikr agar tetap punya jati diri dan dapat menjalani kehidupan secara elegan.
“Ada empat prinsip dasar Aswaja yang perlu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu tawassuth, tawazun, tasamuh, dan i'tidal,” ujar Dewan Khos Pagar Nusa Jawa Timur, KH Faidlol Manan saat menjadi narasumber dalam seminar kebangsaan di aula FISIP Universitas Jember, Jawa Timur, Ahad (10/11).
Menurut Kiai Manan, sapaan akrabnya, keempat prinsip dasar Aswaja itu mampu menjawab tantangan zaman sebesar apa pun. Dikatakannya, moderat, seimbang, toleran, dan menjalankan nilai keadilan, yang merupakan makna dari empat prinsip dasar Aswaja itu jika dijalankan sungguh-sungguh dalam perilaku keseharian, akan membawa kedamaian dan keselamatan hidup.
“Dengan prinsip itu, kita enak bergaul dengan siapa pun, dan kita tetap tidak kehilangan jati diri,” terangnya.
Lewat berpegang kepada empat prinsip itu, Kiai Manan berharap agar para pemuda tetap optimis dalam memandang masa depan bangsa. Namun optimisme itu harus dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh. Tidak cepat putus asa dan selalu mawas diri. Jika itu dilakukan, maka pemuda sebagai harapan bangsa benar-benar menjadi kenyataan.
Kiai Manan mengibaratkan usaha manusia (pemuda) sebagai pohon, yang semakin tinggi, semakin kencang angin menerpa. Itu pasti. Oleh karenanya, lanjutnya, yang harus dilakukan adalah memperkuat akar pohon agar tidak tumbang oleh tiupan angin kencang.
“Menguatkan akar teologi dan ideologi. Memperkuat teologi adalah meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, sedangkan ideologi yaitu dengan menjalankan nilai nilai Aswaja,” tandasnya.
Sementara itu, narasumber lain, Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) PMII Cabang Jember, Akhmad Taufiq menegaskan bahwa peran pemuda dalam perjalanan bangsa Indonesia sangat besar. Dikatakannya, pemuda di era 90-an sepakat untuk mengkritik kebijakan negara, karena dianggap tertutup.
Lalu disusul dengan era reformasi. Di era ini muncul kelompok sosial baru yang semuanya saling menunjukan eksistensinya. Dan saat ini setelah era reformasi, Indonesia begitu terbuka. Di era inilah paham transnasional bermunculan, termasuk radikalisme.
“Maka Pagar Nusa harus ambil peran dalam memberantas gerakan radikal. Tidak cuma itu, juga perlu memikirkan manfaat yang lain, sehingga keberadannya bisa dirasakan oleh masyarakat, mulai dari kalangan pelajar sampai mahasiswa,” ungkapnya.
Taufiq juga menyinggung soal kemajuan teknologi informasi. Hal ini, katanya, membuat informasi berseliweran begitu bebas, sehingga perlu kecerdasan untuk menyikapi kondisi tersebut. Yaitu pemuda tidak boleh terlalu vulgar memanfatkan itu, tapi juga tak boleh menutup diri. Sebab kemajuan teknologi informasi juga banyak memberikan manfaat.
“Tergantung manusianya juga. Kita wajib menyikapi media sosial secara bijak. Kita harus ambil manfaat dari kemajuan teknologi informasi itu,” jelasnya.
Ia menambahkan, agar bisa bijak dalam menggunankan media sosial, manusia perlu modal, yakni akhlak dan ilmu pengetahuan. Sebab, dengan akhlak dan ilmu pengetahuan, manusia bisa tahu mana informasi yang baik dan mana yang buruk.
“Kita akan tahu batasan-batasannya, dan dapat menyaring informasi yang kita dapat, tidak asal telan dan terima,” pungkas Taufiq.
Seminar yang digelar oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pagar Nusa Universitas Jember tersebut dihadiri mahasiswa dan para pesilat Pagar Nusa.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi