Pringsewu, NU Online
Pada dasarnya tujuan diperintahkannya ibadah shalat bagi umat Islam adalah untuk membentuk jiwa yang bersih dengan mampu menghindari serta meninggalkan perkara yang keji dan munkar. Namun realita di lapangan, sering dijumpai seseorang yang terlihat rajin melaksanakan shalat, masih saja melakukan pelanggaran dari perintah-perintah Allah SWT. Kondisi ini disebabkan tidak adanya kesucian niat dan hati saat mendirikan shalat.
Hal ini dijelaskan pengasuh pondok pesantren Miftahun Najah Pringsewu KH Mahfudz Ali saat Kajian Hadits Nomor 23 dari kitab Arbain Nawawi pada Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di gedung NU Pringsewu, Ahad (14/1).
Ketua PCNU Pringsewu periode 2009-2014 ini mengibaratkan ibadah shalat seperti proses membuat roti yang membutuhkan berbagai macam bahan baku. Jika bahan-bahan yang dibutuhkan atau salah satu dari bahan tersebut tidak baik maka hasil roti yang dibuat pun tidak akan maksimal dan sesuai dengan yang diharapkan.
"Kalau ada orang yang rajin shalat dan masih melakukan kemunkaran, jangan salahkan ayat Al-Qur’annya. Bisa jadi niatan melaksanakan shalat dan beberapa aspek yang terkait dengan sempurnanya shalat tidak terpenuhi. Shalat bukan hanya cukup suci jasad saja, namun harus suci hati," terangnya.
Sehingga, ia mengingatkan pentingnya menjaga kesucian hati sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut.
Dalam hadits itu, kesucian hati adalah sebagian dari iman. Maka menurutnya ketika seseorang memiliki hati yang kotor semisal berprasangka buruk kepada orang lain, hasad, merasa paling hebat sendiri dan sejenisnya maka Ia belum bisa dikatakan beriman.
"Ketika seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat itu masih merupakan separuh dari wujud Iman. Kesempurnaan dari kesaksian tersebut ditentukan oleh bersih dan sucinya hati," jelasnya.
Oleh karenanya, Kiai Mahfudz mengajak seluruh umat Islam untuk senantiasa meningkatkan keimanan dengan terus menjaga kesucian hati serta meninggalkan berbagai macam jenis hawa nafsu. (Muhammad Faizin/Abdullah Alawi)