Daerah

Pascasarjana NU UGM : Maksimalkan Dana Desa untuk Pembangunan Nasional

Jumat, 3 November 2017 | 09:02 WIB

Yogyakarta, NU Online 
Forum Silahturahmi Mahasiswa Pascasarjana Nahdlatul Ulama Universitas Gajah Mada (Forsil UGM) kembali menggelar diskusi bulanan kelima pada Kamis, (2/11). Diskusi rutin ini mengangkat tema “Pembangunan Infrastruktur dan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Alam (SDA) melalui Dana Desa”. 

Diskusi yang berlangsung di Pusat Studi Kawasan dan Pengembangan Desa UGM ini disambut sangat baik Guru Besar Fakultas FISIPOL sekaligus Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Sesetiawan. 

Ia menyampaikan pentingnya menjadi manusia yang berpikir secara integratif dalam ilmu pengetahuan, temasuk bagaimana persoalan pembangunan desa bisa dikaji dalam perspektif lintas disiplin. Persoalan desa adalah persoalan yang kompleks jadi tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu bidang ilmu. 

Selain itu ia melanjutkan dengan adanya Undang-Undang Desa No. 60 tahun 2014, desa tidak lagi menjadi objek dari kebijakan pusat, namun desa adalah subjek yang memiliki wewenang untuk mengelola sumber daya dan potensi desa masing-masing melalui dana desa. 

Pemateri pada diskusi kali ini adalah salah satu staf Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah,  Opik Mahendra. Pria asal Banyumas Jawa Tengah ini merupakan lulusan 2017 pada program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada. 

Menurut Opik, desa merupakan bagian terpenting dalam miniatur pembangunan Nasional. Terdapat 74.954 desa di Indonesia. Jumlah ini tidaklah sedikit untuk menunjang pembangunan nasional. 

Adanya dana desa ini tentu bisa memberikan dampak positif agar desa fokus tidak hanya pembangunan fisik tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Masyarakat harus terlibat aktif dalam proses pembangunan desa yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas ekonomi dan pendidikan.

Lebih lanjut, terbitnya Undang-Undang Desa No. 60 tahun 2014 menandai era baru pembangunan desa sebagai subjek pembangunan. Jika sebelumnya pembangunan desa masih bergantung pada kebijakan pusat, maka sejak 3-4 tahun terakhir ini desa telah memiliki kewenangan untuk mengelola sendiri dana desa atau otonomi desa. 

Dana desa ini bersumber dari aloksi Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Nasional (APBN) dan alokasi Anggaran Pembiayaan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten. Dana tersebut ditransfer langsung ke desa-desa dan dikelola secara mandiri untuk pembangunan dan pengembangan desa.

Opik mengatakan, angka 4 tahun belum signifikan untuk menguji efektivitas penyerapan dana desa. Hal ini bisa dilihat bahwa pembangunan fisik masih mendominasi serapan anggaran tersebut. 

Walaupun demikian, dengan adanya wewenang desa dan suntikan langsung dana yang cukup besar ke tiap desa, pembangunan mulai bervariasi merambah ke wilayah ekonomi dan pendidikan.

Materi diskusi yang disampaikan Opik merupakan hasil dari riset tesis. Riset ini dilakukan di 8 desa dan di 8 kabupaten di Jawa Tengah. Temuannya adalah terdapat satu desa yaitu Desa Ponggok, Kabupaten Klaten yang setelah mendapat dana desa menjadi desa dengan jumlah Badan Usaha Milik Desa terbanyak di tingkat nasional. 

Ia mengungkapkan bahwa keberhasilan ini sangat terbantu oleh dana desa. Selain itu, ia menambahkan faktor kepemimpinan desa yang dalam hal ini kepala desa dangat berperan penting dalam pembangunan desa. 

Diskusi ini berlangsung interaktif karena peserta diskusi selain sebagai mahasiswa pascasarjana, juga berasal dari satu frekuensi yang sama sebagai bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama. Untuk ini warga NU memiliki tantangan dan peluang berada dalam pusaran pembangunan desa. 

Kholiq selaku moderator pada diskusi kali ini mengatakan bahwa sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa NU itu desa dan desa itu NU. Ini artinya bahwa warga NU memiliki andil besar dalam proses pembangunan desa yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan program-program dari desa.  

Pemateri mengemukakan terdapat tantangan dan peluang Nahdliyin di desa yaitu perspektif politik (terlibat dan bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan), perspektif informasi (hak memperoleh dan mengakses informasi anggaran dan pembangunan desa), dan perspektif alokatif (alokasi anggaran dan layanan desa secara adil, bagaimana kontrol sosial masyarakat desa). 

"Yang menjadi PR adalah terkait leadership di desa, kepala desa sekadar hanya simbol dan hanya beberapa yang memiliki inovasi. Tantangan terletak pada bagaimana menghidupi dan inovasi, dalam upaya pemanfaatan dana desa. Untuk mendorong inovasi ini kepala desa dapat melaksanakan study banding dengan optimal dan pendamping desa yang profesional," terang Edo, salah satu peserta diskusi.

Kegiatan yang dihadiri oleh sekitar 40 mahasiswa dari berbagai program studi ini ditutup dengan merefleksi kembali pernyataan Bung Hatta bahwa Indonesia tidak akan bercahaya karna obor di Jakarta. Tapi Indonesia bercahaya dengan lilin-lilin di desa. (Alanuari/Abdullah Alawi)