Daerah

Penggusuran Paksa di Kompleks Siliwangi

Kamis, 5 Januari 2006 | 12:51 WIB

Jakarta, NU Online
Penggusuran paksa terhadap puluhan keluarga mantan pejuang 45 dari Kompleks Siliwangi terjadi saat proses hukum atas lahan yang mereka tempati dalam status quo. Proses kasasi yang diajukan pihak Depkeu belum ada putusannya. "Sebetulnya kita masih menunggu proses kasasi di Mahkamah Agung. Tapi tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu sudah terjadi kekerasan dan penggusuran yang dilakukan preman bersenjata," kata kuasa hukum warga, Reinhart Parapat, dari PBHI di sela-sela mendampingi warga di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (23/12).

Pada hari Kamis (22/12) terjadi penggusuran terhadap 14 rumah dan 12 kepala keluarga (KK) di kompleks perumahan Siliwangi, Jalan Siliwangi, RW 11, Kelurahan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

<>

Menurut Reinhart, pengadilan banding sebetulnya telah memenangkan warga dengan menyatakan bahwa Instruksi Gubernur No 187 Tahun 2003 tentang pengosongan rumah tidak sah. Pemda DKI sendiri tidak bersikap terhadap putusan ini. Namun Depkeu yang mendaftarkan diri sebagai tergugat mengajukan kasasi sekitar tahun 2004.

Sengketa di lahan seluas kurang lebih 5,5 hektar tersebut berlangsung sejak tahun 1980. Saat itu kurang lebih 300 pensiunan tentara mensertifikasi tanah yang mereka tempati. Kemudian tahun 1984 mereka digusur pihak Kodam Jaya yang mendatangkan ratusan tentara. Warga kemudian melakukan gugatan dan menang di tingkat kasasi yang menyatakan tidak  boleh ada eksekusi di lahan tersebut, karena lahan tersebut tidak ada pemiliknya.

Robert Sitorus, putra almarhum Kol (Purn) Helfrich Marisi Sitorus,  mantan Direktur I Bakin, mengemukakan waktu itu pihak Kodam Jaya sempat menawarkan tempat tinggal pengganti di daerah Rempoa, namun tidak ada buktinya. Tahun 1999, sekitar 12 kepala keluarga yang tergusur pada tahun 1984 kembali menempati tanah tersebut.

Tahun 2003 muncul Instruksi Gubernur yang meminta pengosongan bangunan. Warga kembali menggugat. Kali ini yang digugat adalah Instruksi Gubernur tersebut. Mereka menang di pengadilan pertama dan tingkat banding. Pengadilan menyatakan Instruksi Gubernur tersebut tidak sah. (rif)