Daerah

PMII Jatim: Lawan Segala Bentuk Penjajahan

Senin, 29 Oktober 2012 | 00:15 WIB

Surabaya, NU Online
Pemuda masa kini jauh dari apa yang diharapkan bangsa dan negara Indonesia. Banyak pemuda yang telah terkontaminasi budaya band dan hura-hura serta lupa akan posisinya sebagai generasi penerus bangsa.
<>
Penilaian itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Masiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Timur Fairouz Huda. “Banyak pemuda yang berharap menjadi boy band,” kata Fairuz Huda, dalam acara 'Refleksi Sumpah Pemuda' yeng digelar oleh PMII Jatim, di RM Taman Apsari, Surabaya, Minggu (28/10) sore kemarin.

Karena itu, lanjut dia, ke depan PMII merasa bertanggungjawab untuk mengajak seluruh pemuda di Jatim untuk membangun kesadaran bersama dalam memperjuangkan kemajuan bangsa Indonesia.

Fairouz berharap, para pemuda tidak terjebak ke dalam bendera sektarian, sehingga melupakan tujuan mulia yang hendak diraih. "Kita boleh beda warna dan bendera, tapi tetap satu barisan dibawah panji kibaran merah putih," tegasnya.

"Mari kita bersama-sama melakukan perlawanan atas segala bentuk penjajahan di republik tercinta ini," imbuh Fairouz berapi-api.

Dalam acara bertajuk “Pemuda: Kunci Perubahan Bangsa” tersebut, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu hadir menyampaikan orasi kebangsaan. 

Akbar yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar itu menandaskan, semangat fase-fase sejarah berdirinya nation (Indonesia), dari kebangkitan nasional, sumpah pemuda, hingga puncaknya yakni lahirnya kemerdekaan, adalah buah dari gerakan pemuda.

“Fase-fase sejarah pemuda inilah yang harus dijadikan semangat bagi pemuda sekarang untuk perubahan bangsa dan negara Indonesia ke depan,” kata Akbar. 

Untuk mengarahkan perubahan, diperlukan kesadaran yang satu dan visioner serta menghilangkan emosi primordialisme dan kelompok.

"Sumpah Pemuda lahir dari pemuda-pemuda yang berlatar belakang berbeda-beda, tapi mereka diikat dalam satu tujuan yang sama, yakni berdirinya sebuah bangsa yang satu dan berdaulat,“ ulasnya. 

Primodialisme seketika hilang karena dikalahkan kesadaran satu bangsa tersebut. Primordialisme yang dimusnahkan itu ditandai dengan diterimanya bahasa Melayu Riau sebagai bahasa persatuan, selanjutnya disebut Bahasa Indonesia. 

“Melayu Riau dipilih karena lebih egaliter. Ini kearifan para pemuda yang berbeda-beda dulu. Bayangkan kalau yang dijadikan bahasa persatuan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan-tingkatan, tentu tidak akan seperti sekarang ini bangsa kita,” tandas Mantan Ketua DPR RI ini.


Kontributor: Abdul Hady JM