Daerah KONFERWIL NU JATIM 2018

Ribuan Santri Belia Lirboyo yang Membuat Iri

Senin, 30 Juli 2018 | 14:30 WIB

Kediri, NU Online
Kendati Pesantren Lirboyo tengah menjadi tuan rumah kegiatan Konferensi Wilayah (Konferwil) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, aktifitas harian santri tidak terganggu. Di sekitar lokasi, para peserta Konferwil masih dapat menyaksikan lalu-lalang santri yang kebanyakan belia untuk masuk ke kelas dan ngaji kitab.

“Acara Konferwil tidak mempengaruhi kedisiplinan santri Lirboyo,” kata Ahmad Muntaha, Ahad (29/7). Hal tersebut dibuktikan dengan mereka tetap masuk madrasah, melakukan hafalan nazham, jamaah shalat, serta ziarah ke makam kiai di sekitar pesantren, lanjutnya. 

Menurut alumnus Lirboyo yang kini menjadi Sekretaris Pimpinan Wilayah Lembaga Bahtsul Masail NU Jatim tersebut, keberadaan Konferwil adalah bonus. “Ya, mereka bisa menyaksikan perhelatan Konferwil di sela-sela waktu yang ada,” kata alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel tersebut.

Yang juga membuat sebagian kalangan takjub adalah perkembangan para santri. “Waktu saya mondok dulu yakni antara tahun 2004 hingga 2009 jarang santri usia 12 tahun, atau lulusan sekolah dasar masuk Pesantren Lirboyo,” kata Ahmad Tsauri di akun Facebooknya.

Dulu, usia 18 atau paling muda usia 15 tahun baru masuk kelas empat ibtidaiyah atau sekolah dasar. “Sekarang usia lulusan sekolah dasar yakni 13 tahun jumlahnya ribuan,” ungkapnya. Lebih separuh dari jumlah 26 ribu santri dengan rentang usia 13 hingga 16 tahun, lanjutnya.

Dalam pandangan Ahmad, kelebihan studi di pesantren adalah para santri belia tersebut tidak dituntut menghafal Al-Quran, tapi hafalan ilmu alat seperti sharaf (morfologi), nahwu (gramatika), ditambah pemahaman yang sangat detail. 

“Mereka menghafal dan memahami Amsilatu Tasrifiyah dan Kaidah Sharfiyah, sebuah kitab kumpulan dari bait-bait penting sharaf yang disadur dari Alfiyah dan kitab lain,” jelasnya. Setelah bisa membaca kitab, banyak di antaranya masuk ke asrama tahfidz atau menghafal Al-Qur'an.

Ahmad juga merekam hafalan bait nadzam para santri belia tersebut. Seperti Ahmad Sabirur Rizki yang asli dari Pekalongan, Jawa Tengah. Dia masuk Lirboyo setahun lalu dan kini lanjut di kelas Tsanawiyah. Dan dengan sangat lancar membacakan hafalan nadzam yang dikuasai.

Pemandangan yang sama juga diperoleh saat Muhammad Fathul Huda menunjukkan kemampuan dalam menghafal sejumlah nadzam. Sama seperti  Ahmad Sabirur Rizki, hafalan nadzam yang dikuasai di luar kepala demikian membanggakan.  

Ilmu-ilmu alat ini, disamping pelajaran fikih dan tauhid seperti Fath Qarib dan Aqidatul Awam, penting untuk bisa membaca kitab karya para ulama, seperti tafsir dan sejenisnya yang sejak era awal Islam ditulis dalam bahasa Arab. “Dengan mengikuti tahapan ini, mereka tidak akan taklid pada kitab terjemah untuk memahami agama,” jelas Ahmad Tsauri.

Ahmad yakin, melihat anak-anak usia belia begitu banyak di pesantren dan belajar dengan intensitas tinggi, maka bonus demografi sesungguhnya bukan hanya positif bagi perekonomian. “Juga  di tahun 2030 nanti kita bisa surplus ulama muda mumpuni, yang tersebar di seluruh Nusantara,” bangganya.

Ahmad yakin dengan masa depan Indonesia.”Melalui jalan ini generasi mendatang akan terbebas dari hoaks dan tidak lagi menjadi korban politisasi agama oleh politisi norak,” tandasnya sembari berdoa bagi kelancaran khidmat dan perjuangan para pegiat pesantren. (Ade Nurwahyudi/Ibnu Nawawi)