Bandar Lampung, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin mengatakan bahwa hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif yang secukupnya) di setiap desa atau masjid adanya orang yang berilmu agama mendalam (faqih).
Sosok ini bisa disebut kiai, buya, ajengan, ustaz, tuan guru, guru atau predikat keagamaan lainnya yang sanggup membimbing anggota masyarakat agar beragama secara lebih berkualitas. Para kiai ini memahami apa yang menjadi kewajiban individu maupun kewajiban kolektif mereka.
"Di antara kemunkaran yang umum dilakukan adalah adanya orang yang memiliki ilmu agama (alim, faqih) namun menyembunyikan ilmunya, bersikap tidak peduli terhadap orang-orang di sekitarnya yang sama sekali awam terhadap ajaran agama," ungkapnya, Jumat (14/2).
Sementara fakta di lapangan saat ini amat banyak masyarakat yang mengamalkan agama tanpa ilmu. Bahkan kini semakin banyak saja penceramah agama yang nekat tampil di tengah masyarakat tanpa bekal ilmu agama yang cukup, bahkan sesungguhnya tidaklah cukup untuk dirinya sendiri.
"Dalam suasana semacam ini, orang yang benar-benar berilmu agama memadai wajib tampil untuk memberikan perhatian, dan melakukan perbaikan, agar agama tidak dicemari dan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab itu," tegasnya.
Situasi ini pada hakikatnya adalah bentuk kemungkaran yang kasat mata dan telah umum terjadi. Telah berabad sebelumnya, lanjut Kiai Ishom, al-Imam al-Ghazali telah menyatakan, "ketahuilah, bahwa setiap orang yang duduk di rumahnya, di mana saja ia berada, pada zaman ini tidaklah kosong dari kemungkaran yang sekiranya ia duduk-duduk saja, enggan memberikan petunjuk kepada orang lain, tidak mengajarkan ilmu kepada mereka, dan tidak pula mengajak mereka untuk berbuat baik".
"Wajib bagi setiap orang yang paham agama (faqih) menyibukkan diri dengan kewajiban pribadi (fardu ain)nya dan menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajiban kolektif (fardu kifayah)nya dengan cara keluar menuju daerah tetangganya dari orang kebanyakan (yakni yang mayoritas tergolong kaum awam), orang Arab, orang Kurdi dan selain mereka, mengajarkan agama kepada mereka," lanjutnya mengutip Imam Ghazali.
Dalam melaksanakan kewajiban mengajar ini juga, Imam Ghazali menekankan pentingnya untuk membawa bekal makanan untuk dimakan sendiri dan tidak perlu makan dari makanan warga yang dikunjungi.
"Bila persoalan ini sudah ada satu orang yang melaksanakannya, gugurlah dosa dari orang-orang lainnya, tetapi jika tidak (seorangpun yang melakukannya), maka seluruhnya menanggung dosa," pungkasnya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin