Fragmen SEJARAH KECIL NU

Acara NU pada Masa Kolonial: Tak Hanya di Masjid atau Pesantren, tapi Juga di Bioskop

Ahad, 23 Maret 2025 | 03:48 WIB

Acara NU pada Masa Kolonial: Tak Hanya di Masjid atau Pesantren, tapi Juga di Bioskop

Sebuah bioskop sekitar Pasar Baru, Jakarta Pusat (Foto: VOI.id dari Wikimedia Commons)

Gambar hidup yang jadi tontonan bukanlah barang baru di Indonesia. Ia sudah ada lebih dari satu abad. Pada masa Hindia Belanda, sebagian penduduk bumiputra menonton hiburan gambar idoep sebagai ekspresi untuk menikmati modernitas. Bahkan mungkin ada anak muda yang keranjingan menontonnya. 


Bioskop pertama di Indonesia tentu saja berbeda dengan zaman sekarang. Namanya pertama, berarti cikal-bakal. Bioskop saat itu sangat sederhana, peralatan dan gedungnya pun masih bongkar pasang. Film yang diputar adalah film bisu yang diimpor dari Eropa atau Amerika Serikat. Di antara bintang film yang populer saat itu misalnya Emil Jannings, Charlie Chaplin, dan Buster Keaton.


Saat itu, bagi kebanyakan orang bumiputra, jangankan memproduksi film sendiri dengan cerita sendiri, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih susah. Jangankan mengembangkan wayang atau teater rakyat dikemas jadi tontonan sebagaimana film bisu Eropa, untuk berkumpul dan berserikat saja masih dipantau PID.   


Cikal-bakal bioskop di Indonesia adalah ketika seorang pengusaha Belanda bernama Talbot menggelar tontonan film bisu. Talbot, menurut satu sumber, menggelarnya di sebuah rumah bedeng dengan dinding dari anyaman bambu dan beratapkan seng. Setelah pemutaran film, bioskop tersebut dicopot, lalu dipindahkan ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.


Talbot memulai aktivitas itu di Tanah Abang, Jakarta, pada 29 Desember 1900 atau 26 tahun sebelum para kiai mendirikan Nahdlatul Ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926. Secara kebetulan, pada 1926 pula film pertama bikinan Hindia Belanda diproduksi. Judulnya Loetoeng Kasaroeng. Penyandang dananya adalah Bupati Bandung Wiranatakusumah V.


Pada saat bioskop pertama dirintis, salah seorang yang kelak akan mendirikan NU, KH Hasyim Asy’ari, berusia 29 tahun. Ia baru setahun pulang menimba ilmu dari Makkah. Sementara pendiri NU yang lain, KH Abdul Wahab Chasbullah, saat itu baru berusia 12 tahun. Mungkin saat itu ia masih menekuni nahwu dan fiqih kepada ayahnya, KH Chasbullah. 


Kiai Wahab waktu itu belum sempat memikirkan kelak akan bertemu dengan Djamaluddin Malik (big boss film Indonesia, pendiri Perseroan Artis Indonesia atau Persari). Belum berniat bekerja sama dengan Usmar Ismail (Bapak Perfilmn Indonesia, pendiri Perusahaan Film Indonesia atau Perfini). Tak sempat memikirkan Asrul Sani (sastrawan dan penulis naskah film Indonesia). 


Pada saatnya kelak di sekitar tahun 1960-an, ketiga orang Minang itu dipersilakan Kiai Wahab untuk mendirikan perkumpulan seni budaya sebagai sayap NU bernama Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)—sebuah lembaga yang tentu saja sangat berkaitan dengan film dan bioskop. 


Acara NU di Bioskop
Pada 1930-an, NU sedang dalam masa pertumbuhan. Saat itu, NU tengah menata diri, menyolidkan para kiai pesantren, dan membentuk cabang di daerah-daerah. NU juga terus-menerus memperkenalkan diri kepada publik dengan berbagai cara.


Sebagai organisasi yang baru berdiri, cabang-cabang NU belum memiliki aset sekretariat atau gedung pertemuan di tempat-tempat strategis. Namun, upaya memperkenalkan perkumpulan adalah tugas yang mau tak mau harus dilakukan. 


Tak heran, pada masa itu, acara-acara NU kerap meminjam atau mungkin menyewa tempat milik lembaga atau perkumpulan lain seperti sekolah, hotel, atau di kediaman warga yang merupakan simpatisan atau anggota NU. Bahkan, NU di tingkat cabang dan ranting mengadakan acara di bioskop. 


Setidaknya, Cabang NU Serang tercatat pernah menggelar acara di bioskop pada 1935. Acara ini diberitakan koran Pemandangan No. 282, 18 Maret 1935, dengan judul “Nachdatoel ‘Oelama Serang”. 


“Baroe baroe ini, perkoempoelan tsb di atas (NU Serang), telah mengadakan propaganda vergadering terboeka, bertempat di gedoeng bioscoop Banten Park.”


Pertemuan itu dipimpin tokoh NU Banten KH Entol Muhammad Jasin dari Menes dan dihadiri KH Abdul Wahab Chasbullah serta para kiai dan tamu undangan dari ragam perkumpulan, di antaranya Muhammadiyah. 


Acara di bioskop juga dilaksanakan Ranting NU Sukamandi, Subang, Jawa Barat (waktu itu Sukamandi masuk ke dalam Cabang NU Purwakarta meliputi Karawang dan Subang) yang berlangsung di Victoria-bioscoop Sukamandi. NU Sukamandi kala itu dipimpin mantri guru bernama Karjasoedjana.


Berikut ini informasi acara NU Sukamandi di bioskop yang didokumentasikan Pemandangan, No. 38, 22 Mei 1935.


“Baroe-baroe ini Nahdlatoel Oelama Kring Soekamandi telah mengadakan rapat terboeka bertempat di Victoria-bioscoop Soekamandi, dikoenjoengi oleh tidak koerang 400 orang, lengkap wakil2 pemerintah dan pers serta wakil N.O. dari berbagai bagai tjabang.”


Lalu, timbul pertanyaan: Bagaimana perkumpulan keagamaan seperti NU menyelenggarakan kegiatan di tempat yang dalam pikiran sebagian orang merupakan sarang kemaksiatan?   


Menurut Pemandangan, acara NU Sukamandi yang dihadiri tokoh NU, KH Zainul Arifin dari Jakarta, itu tak berbeda dengan acara-acara yang diselenggarakan di masjid atau pesantren.


“Vergadering dimoelai dengan pembatjaan Qoer'an dari Hadji Haroen. Toean Roesdi mengoeraikan riwajat moelai berdiri dan haloeannja Nahdlatoel Oelama. Azas dan toedjoean N.O. dioeraikan oleh Kiaji Zainal Arifin, oeotoesan Mr. Cornelis dengan djelas. Dan banjak lagi spreker-2 jang mengoeraikan tentang riwajat-2 agama Islam dll hingga djam 1 siang barulah vergadering ditoetoep dengan selamat.”


Mungkin timbul pertanyaan lagi: Kenapa saat itu NU tidak menyelenggarakan kegiatan di pesantren di Serang atau di masjid Sukamandi? 


Ini memang pertanyaan yang membutuhkan jawaban dengan penelitian lebih lanjut. Meski demikian, perlu diingat, 7 muktamar awal NU setiap tahun dari 1926-1932 bukan dilaksanakan di pesantren atau masjid, melainkan di hotel. 


Pertemuan di masjid baru diadakan setelah keputusan-keputusan muktamar telah ditetapkan. Pengurus NU biasanya menggelar pertemuan massal di masjid besar suatu kota yang dihadiri ribuan, bahkan belasan ribu umat Islam. Lalu, para kiai satu per satu membacakan hasil-hasil keputusan muktamar.

 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.