Fragmen

Congres Ke-13 NU, Volksraad, dan Perpecahan Sarekat Islam

Jumat, 12 Juni 2020 | 01:35 WIB

Congres Ke-13 NU, Volksraad, dan Perpecahan Sarekat Islam

Jika NU berpolitik praktis dalam Voolksraad, dikhawatirkan akan tersedotnya tenaga kader NU yang sampai waktu itu masih diperlukan untuk membina internal NU

Juni 1938, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan congres (muktamar.red) ke-13 di Menes Banten. Salah satu agenda pembahasan dalam congres tersebut adalah terkait aspirasi sebagian Nahdliyin yang menghendaki NU mengambil jalan politik praktis. Karena sebelumnya, memasuki tahun 1935, muncul suara-suara dari sebagian Nahdliyin agar NU menempatkan perwakilannya dalam lembaga politik Volksraad, semacam Dewan Rakyat bentukan pemerintah Hindia Belanda tahun 1918.


Aspirasi tersebut, pada kongres NU di Menes, secara resmi diusulkan oleh NU cabang Indramayu. Alasan yang dikemukakan adalah pertama, dengan masuk ke Volksraad, NU dapat menyampaikan kritik dan aspirasi secara legal atas kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kedua, apabila ada tindakan pejabat pemerintah yang merugikan cabang-cabang dan anggota NU, maka NU dapat membawa mempersoalankan tindakan itu dalam sidang Voolksraad. Ketiga, keberadaan wakil NU di Voolksraad, akan membuat eksistensi NU semakin terdengar dan dilihat oleh khalayak umum, sehingga secara tidak langsung NU dapat melakukan promosi dan propaganda (Verslag Congres NO ke-XIII, 1938: 72-74).


Usul ini kemudian dibahas dalam majelis sesi kedelapan secara tertutup, yang dihadiri oleh 53 utusan cabang. Hasilnya, 39 cabang menolak, 11 cabang setuju dan 3 abstain. Mayoritas penolakan itu beranggapan bahwa adanya wakil NU di Voolksraad sama sekali tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi NU, mengingat anggota mayoritas anggota Volksraad bukan dari jam’iyah NU, bahkan banyak anggotanya yang tidak beragama Islam. Atas penolakan ini, Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (PBNU.red) memberikan penguatan:


Oleh karena kebanjakan dari oetoesan2 (sprekers) itoe sama menjatakan ta’ setoedjoendja kepada oesoel, maka H.B. sendiri terpaksalah djoega ta’ dapat menentoekan akan sikapnja (pendirianja) jg pasti. Itoelah sebabnja, maka H.B. hanjalah memberikan akan penerangannja, bahwa djalan2 jang akan ditempoeh oleh N.O. goena menjampaikan akan segala keberatan2nja kepada pemerintah Agoeng, masihlah amat banjaknja. Ta’ boleh tidak oesaha2 jang dilakukan oleh N.O. itoe tentoe akan mendapat perhatiannja pemerintah. Dari itoe tiadalah perloe N.O. mempunjai wakilnja di dalam raad2 pemerintah tadi (Verslag Congres N.O. ke-XIII, 1938: 74).


Selain itu, jika NU berpolitik praktis dalam Voolksraad, dikhawatirkan akan tersedotnya tenaga kader NU yang sampai waktu itu masih diperlukan untuk membina internal NU. Meskipun di kalangan warga NU esensi dari peran dewan rakyat itu sendiri dapat diterima sebagai sesuatu yang penting untuk menyalurkan aspirasi NU dan rakyat pada umumnya.


Adapun godaan untuk terlibat dalam politik praktis ini menyeruak di kalangan sebagian Nahdliyin adalah manakala sebagian kader NU mendapati sebuah realitas tentang menurunnya pamor Sarekat Islam selepas ditinggal wafat HOS. Cokroaminoto. Para kader muda NU pengusung politik praktis tersebut juga berharap dapat mengambil alih peran dari beberapa partai politik yang dikekang pemerintah Hindia Belanda, berikut peran tokoh-tokoh pergerakan yang banyak diasingkan.


Akan tetapi, kemampuan para “sesepuh” NU dalam memahami arah jaman (dengan tidak dulu membawa NU berpolitik praktis) secara tidak langsung telah menguntungkan eksistensi NU pada masa itu. Meskipun cukup potensial menjadi kekuatan politik baru, namun sikap apolitis ini telah berperan bagi pesatnya perkembangan pendukung NU dalam rentang waktu di mana Sarekat Islam, terus dilanda penurunan pengaruh.


Para sesepuh NU berkaca pada perpecahan Sarekat Islam di tahun 1920-an, yang justru salah satunya disebabkan oleh polemik keberadaan Volksraad. Pada saat itu, Sarekat Islam yang mengambil jalan perjuangan secara kooperatif, menempatkan wakilnya di Volksraad, seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Moeis. Pilihan para pimpinan Central Sarekat Islam (CSI) tersebut menimbulkan kekecewaan dan protes di kalangan sebagian kader Sarekat Islam yang menghendaki jalan perjuangan non-kooperatif, dan ingin bergerak secara revolusioner. Protes muncul dari berbagai cabang SI di daerah, dipimpin oleh Semaun, ketua Sarekat Islam Cabang Semarang. Mereka berkeyakinan bahwa Voolksraad hanya akal-akalan kaum Kolonial untuk mengelabui rakyat dan tokoh-tokoh pergerakan.


Sejarah mencatat, akibat perseteruan tersebut Sarekat Islam akhirnya terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI putih pada tahun 1921 berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), lalu tahun 1927 berubah jadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan terus mengalami perpecahan internal di tahun-tahun berikutnya. Sedangkan SI Merah, tokoh-tokohnya bergabung dengan Indische Social Demokratische Vereniging (ISDV), lalu melebur menjadi Partai Komunis Indonesia pada Mei 1920, dan hanya bertahan tujuh tahun kemudian karena dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, akibat melakukan pemberontakan di Jawa pada November 1926 dan di Sumatera pada Januari 1927. 


Sementara NU, oleh karena seringkali bijak dalam mengambil keputusan, jam'iyah bentukan para ulama khos ini dapat berumur panjang. Tidak hanya mampu melewati fase akhir masa Hindia Belanda, ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan, bahkan terus eksis sampai saat ini.

 

Penulis: Agung Purnama

Editor: Abdullah Alawi