Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 8)

Kamis, 7 Mei 2020 | 09:00 WIB

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 8)

The Black Death plague (futurelearn.com)

Oleh Warsa Suwarsa 
 
Bencana, baik alam atau nonalam, tidak hanya berdampak terhadap persoalan fisik seperti: rumah roboh atau terendam banjir; kesehatan masyarakat terganggu dengan munculnya penyakit susulan dalam bingkai kejadian luar biasa (KLB); kehilangan keluarga dan sanak saudara; kehilangan teman dan sahabat dekat; dan kelaparan. Bencana nonalam seperti wabah maut hitam pada abad pertengahan telah mengguncang mental manusia: ketakutan atau phobia berlebihan; kecemasan; harapan yang hilang; disorientasi ke masa depan; depresi; hingga disorientasi sosial akibat stigmatisasi terhadap korban. 

Hal tersebut memang wajar, selain manusiawi, ketakutan dan kegetiran ini merupakan piranti lunak yang telah disiapkan oleh Allah SWT seperti dalam penggalan ayat: Wa lanabluwannakum bi syai-in minal khaufi wal-juu’i. Ketakutan dan kelaparan merupakan cobaan bagi manusia. 
 
Secara kontekstual, cobaan tersebut lahir  untuk mengokohkan eksistensi dan keberlangsungan manusia sebagai salah satu spesies di muka bumi yang berperan sebagai khalifah. Tanpa piranti lunak ini, proses evolusi mental manusia akan berjalan lembek. Jika Al-Qur’an menggunakan terma “begembiralah orang-orang yang sabar”, pada tataran teknis alamiah hal ini berarti, hanya manusia yang kuat mental dan fisik akan terus bertahan dan melanjutkan keberlangsungan spesiesnya di bumi ini.

Dampak Moral Maut Hitam
Maut hitam pada abad pertengahan di Eropa benar-benar telah mengguncang mental orang-orang saat itu. Ketakutan menghinggapi alam pikir setiap orang. Tingkat kematian yang tinggi seolah berada di antara dua ruang, nyata atau mimpi buruk. Bahaya kematian seolah membayang di pelupuk mata setiap orang. Kepercayaan terhadap cara-cara penyembuhan dan ikhtiar melalui pendekatan medis luntur. 

Orang-orang bukan takut oleh wabah, mereka benar-benar menakuti kematian. Sangat kontradiktif dengan ajaran yang selama ini mereka terima dari para agamawan yang sering membuat penghiburan kepada orang-orang bahwa kematian pertanda baik tentang awal keabadian. Hanya dengan berpartisipasi dalam keyakinan lah, orang-orang seolah dipaksa pasrah terhadap penularan bakteri yersinia pestis. Orang-orang mengharapkan masuk ke dalam sorga-Nya namun selalu berpikir ulang untuk meninggalkan dunia sesegera mungkin.

Orang-orang sangat menggantungkan diri kepada mukzijat dan keajaiban dari langit agar maut hitam segera sirna. Orang-orang yang terkena wabah dikumpulkan di dalam rumah-rumah ibadah. Mereka yang tidak mau mengikuti aturan ini akan ditangkap dan lalu dimasukkan ke dalam rumah ibadah, dipaksa menjalankan kebajikan Kristen sebagai bentuk pertobatan sebelum mereka dijemput kematian. 
 
 
Satu abad sebelum peristiwa bencana nonalam berupa maut hitam menerjang Eropa, kondisi seperti ini dialami oleh orang-orang Islam saat masa ekspansi pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan. Desa-desa yang dilalui oleh pasukan Mongol dibantai, Baghdad, pusat kekuasaan Islam saat itu direbut oleh pasukan Mongol, ribuan buku dan karya ilmiah para ulama dibuang ke sungat Tigris. 

Sejumlah pertanyaan –sangat dilematis mucul dalam pikiran orang-orang Islam– ada apa dengan peristiwa ini, kerajaan Islam dihancurkan oleh bangsa barbar dan pagan? Bukankah Islam sebagai agama sempurna yang akan terus mengalami kegemilangan dari tahun ke tahun? Kenapa harus dikalahkan oleh bangsa pagan? Kenapa kerajaan Islam dikalahkan oleh bangsa buta huruf dan bengis, ribuah karya ulama yang kelak akan menjadi warisan tertinggi di bidang ilmu pengetahuan dihancurkan oleh mereka orang-orang bebal itu?

Bayangkan, diri kita tiba-tiba memasuki lorong waktu lalu terdampar di dua masa itu secara berurutan, pada saat penyerangan pasukan Mongol, kita bertindak sebagai penduduk Baghdad, selanjutnya terdampar di Avignon, wilayah selatan Prancis, mengalami langsung rangkaian peristiwa maut hitam, kita bertindak sebagai seorang penganut Kristen saat itu. Ketakutan akan menjalari diri kita, mental kita benar-benar jatuh ke titik nadir paling rendah. 

Pertanyaan muncul dalam diri kita: kenapa umat Islam sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia ini dikalahkan oleh umat lain yang belum mengenal Tuhan? Pada fase selanjutnya muncul kembali pertanyaan, saat kita di Eropa, kenapa maut hitam menyerang kami, bukankah sebagai penganut Kristen yang saleh telah dijamin akan selamat dari ancaman dan marabahaya. Bukankah orang-orang akan diselamatkan karena keimanannya kepada Tuhan, seperti disebutkan dalam Perjanjian Baru: Abraham juga disebut selamat karena iman bukan perbuatannya (Roma 4:13).

Bagi umat Kristen, mereka meyakini maut hitam sebagai jalan untuk menyucikan diri dari segala dosa yang pernah dilakukan. Cara-cara pertobatan dilakukan di setiap wilayah Eropa dari pusat kota sampai ke pelosok-pelosok, mereka bertekad untuk meninggalkan kejahatan sebagai penebusan atas kesalahan di masa lalu. Gereja-gereja dipenuhi oleh requim dan pujian-pujian kepada Tuhan sebagai bentuk rekonsiliasi mereka sebelum dipanggil menghadap-Nya. Tindakan ini dilakukan untuk menghukum diri mereka sendiri, hukuman karena dosa-dosa yang pernah mereka perbuat. Peristiwa ini mengingatkan kita kepada umat kristen di era Santo Siprianus saat diterjang wabah Siprian.

Mereka mengakui diri diliputi oleh kesalahan masa lalu; kemunafikan, ilusi, dan kefanatikan terhadap kebenaran seolah hanya dimiliki oleh kelompoknya saja. Kesalahan masa lalu membayangi pikiran mereka, pernah menodai kemuliaan, memutarbalikkan apa yang ilahi dengan yang duniawi untuk merogoh tujuan yang tidak suci, Kekuatan ordo gerejawi saat maut hitam semakin menggila menjadi panutan mayoritas manusia. Semangat aksi penebusan dosa terjadi di Bumi Eropa. Semua telah kehilangan cara dan bagaimana seharusnya mereka menyikapi penularan bakteri, bukan hanya oleh rafalan jampi, juga oleh cara yang lebih rasional. 
 

Kota-Kota dengan Ratapan dan Linangan Air Mata
Maut hitam seperti tidak menyisakan apa pun kecuali ratapan dan linangan air mata. Semua negara di Eropa dari Hongaria hingga Jerman disesaki isak tangis. Ratapan itu bukan hanya mereka menangisi kepedihan akibat wabah, juga meratapi dosa-dosa masa lalu mereka yang telah menjadi penyebab didatangkannya maut hitam kepada mereka. Di bawah kelompok Brethren of the Cross atau kelompok Pembawa Salib, umat dibimbing mengambil pertobatan dan memohon kepada Sang Pencipta untuk mencegah wabah.

Berbagai cara dilakukan untuk melawan wabah. Kelompok yang berlindung di bawah naungan ordo pembawa salib ini kerap melakukan prosesi arak-arakan sambil bernyanyi, pandangan tertuju ke tanah, disertai dengan sikap menunjukkan rasa sesal dan duka mendalam. Atribut-atribut yang digunakan selama prosesi ini yaitu pakaian muram, salib berwarna merah disimpan di dada atau punggung. Prosesi ini disaksikan oleh orang-orang.

Ada kemiripan peristiwa semacam ini ketika dunia seolah diliputi oleh kepedihan, terjadi satu abad setelah maut hitam melanda Eropa. Ribuan Muslim dipaksa meninggalkan Andalusia, Cordoba, dan Toledo oleh penguasa Castillia dan Aragon dengan perasaan dipenuhi oleh rasa haru. Tahun 1492 M, merupakan fase awal negara-negara Eropa akan memasuki era renaissance, bagi dunia Islam, abad tersebut merupakan saat kepiluan dan kesedihan, Islam telah keluar dari Spanyol setelah selama satu abad lamanya menorehkan noktak emas peradaban di negara tersebut. Sesaat sebelum meninggalkan Granada, Sultan Muhammad XII membalikan tubuh menatap kota dengan linangan air mata sebagai salam perpisahan terhadap kota tersebut.

Cikal Bakal Sekularisme dan Feodalisme
Sekularisasi dipandang negatif saat ini terutama oleh kelompok puritan. Kelahiran sekularisme, pemahaman yang selalu berhubungan dengan keduaniawian, pemisahan agama dengan negara, dan terpisahnya kerajaan Tuhan dengan dunia merupakan terminologi kontemporer. 
 
Fase awal kelahirannya justru terjadi di saat Eropa sedang mengalami histeria keagamaan selama menghadapi wabah maut hitam. Prosesi-prosesi keagamaan yang baru muncul melahirkan tradisi baru, atribut-atribut yang digunakan, tujuan darinya untuk tetap bertahan hidup selama wabah maut hitam. Devosi keagamaan seperti inilah justru yang sebenarnya telah melahirkan sekularisme. 

Maut hitam merupakan malaikat pencabut nyawa bagi Eropa, populasi menurun, bangunan-bangunan dan tanah-tanah yang ditinggal mati oleh pemiliknya diambil alih oleh siapa saja yang pertama kali mengklain kepemilihan lahan. Orang-orang yang selamat dari maut hitam tiba-tiba tampil sebagai pemilik lahan luas, mengaku dirinya sebagai pemilik sah atas lahan dan bangunan, melahirkan orang-orang kaya baru (OKB). Sering kali orang-orang kaya baru tersebut dulu berasal dari kelompok menangah bawah namun selamat dari wabah. Kepemilikan lahan berhektar-hektar oleh orang-orang kaya baru di Eropa ini melahirkan tatanan baru: feodalisme. 
 
Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi