Fragmen SEJARAH KECIL NU

Dituduh Hanya Mengurus soal Remeh-Temeh, NU Diam-diam Menyatukan Islam dan Nasionalisme  

Kamis, 20 Maret 2025 | 03:12 WIB

Dituduh Hanya Mengurus soal Remeh-Temeh, NU Diam-diam Menyatukan Islam dan Nasionalisme  

Logo NU (Foto: NU Online)

Berita Nahdlatoel Oelama No. 17, 1 Juli 1939 (hlm. 5/274), menurunkan sebuah artikel bertajuk “Nahdlatoel Oelama: Berdirinja NO”. Tulisan itu menggambarkan pandangan umum sebagian kalangan mengenai pergerakan para kiai mendirikan NU. Pandangan tersebut juga menilai NU sebagai perkumpulan yang hanya mengurusi hal-hal yang kecil dan keseharian. 


Saat perkumpulan lain melakukan gebrakan-gebrakan yang menggelisahkan pemerintah kolonial, NU masih membahas bagaimana caranya wudlu yang betul sesuai aturan fiqih. Tatkala perkumpulan lain membuat Tuan Emile Gobee tak bisa tidur nyenyak, NU masih membahas hukumnya bermazhab bagi umat Islam. 

 

Pandangan KH Ahmad Sanusi 
Maka, tak heran, setelah tujuh tahun NU didirikan, KH Ahmad Sanusi, seorang tokoh pergerakan asal Sukabumi dan pemimpin perkumpulan Al-Ittihadul Islamiyah (AII), menyampaikan sedikit pendapatnya tentang NU:


“Terhadap Nahdltoel Oelama tidak tegen hanja koerang setoedjoe karena jang dioeroes hanja soal jang tidak membawa kemadjoean penghidoepan rajat Islam, hanja oeroesan agama semata-mata.”


Menurut kamus Bahasa Belanda yang diakses secara daring, tegen artinya menentang. Tidak tegen terhadap Nahdlatul Ulama berarti ia tidak menentangnya. Dengan demikian, KH Ahmad Sanusi pada dasarnya tidak bertentangan dengan pergerakan NU. Hanya saja, ia kurang sreg dengan NU yang ia amati sampai tahun 1933, yang baginya membahas sebatas urusan-urusan kecil. 


KH Ahmad Sanusi menyampaikan pendapatnya pada Sinar Deli No. 89, 19 April 1933, dalam artikel berjudul “Kijai Hadji Achmad Sanoesi”. Menurut koran itu, pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh tersebut menyampaikan pendapatnya saat ia dibuang ke Batavia. Jadi, saat itu ia tak bisa lagi berkumpul dengan umatnya di Sukabumi. 


Barangkali pandangan di atas tidak sepenuhnya benar. Bagaimana pun, NU saat itu punya cara berjuang sendiri dengan cara yang tidak menggetarkan pihak mana saja. Tapi, dalam kondisi macam itu, NU diam-diam mempersatukan umat, sedikit demi sedikit mempertemukan kaum ulama dan nasionalis. 


Dalam ungkapan KH Saifuddin Zuhri di buku Almaghfurlah KH Wahab Chasbullah Bapak Pendiri NU (hlm. 25), meski tetap membahas yang kecil-kecil, tokoh NU juga berupaya menyatukan aspirasi Islam dan nasionalis sebagai dua aspirasi yang saling mengisi dan melengkapi, bukan dua aspirasi yang harus bertabrakan satu sama lain sebagai musuh. 


Tokoh NU menyadari betul bagaimana harus menempatkan diri dalam situasi penjajahan bangsa asing yang serba dibatasi. Para pendiri NU yang sebagian leluhurnya merupakan para prajurit Diponegoro tentu mendapatkan kisah perjuangan nenek moyang mereka yang diburu dan menepi ke pinggiran kampung, bersembunyi di hutan dan pegunungan. Pemimpin dan umatnya tercerai-berai.
  

Pandangan Sinar Pasoendan 
Pandangan serupa muncul di Sinar Pasoendan yang terbit pada 19 November 1934 atau sekitar delapan tahun setelah NU didirikan. Koran berbahasa Sunda tersebut mempertanyakan kenapa NU tidak terjun ke masalah pendidikan. 


“Tapi naha Nahdlatoel Oelama moal ngajakeun sakola modern saperti Moehammadijah. Pikeun ra’jat pada resep oge kana sakola-sakola noe pangadjaranana ditjampoer agama cara H.I.S. met de Qur’an. Gening pikeun ra’jat Tasik oge loba pisan noe ngasoepkeun anakna ka Bahrain School da di eta sakola diajakeun pangadjaran biasa sarta pangadjaran agama, sabab pikir kolot baroedak teh soegan bae oepama anakna kaloear ti eta sakola bisa teroes ditampa di Al-adjhar Egypt –(Mesir)." 


[Tapi kenapa Nahdlatul Ulama tidak akan mendirikan sekolah modern seperti Muhammadiyah. Masyarakat sepertinya menyukai mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dengan pengajaran campuran antara pendidikan umum dan agama seperti H.I.S. dan Quran. Sebagai contoh, masyarakat Tasikmalaya tak sedikit mengirimkan anaknya ke Bahrain School yang memadukan pengajaran umum dan agama. Mungkin para orang tua berpikir suatu saat setelah anaknya lulus dari sekolah tersebut, bisa dikirim ke Al-Azhar, Mesir.]


Setelah 14 Tahun Didirikan 
Pandangan KH Ahmad Sanusi dan Sinar Pasoendan itu mungkin berubah setelah melihat pergerakan NU beberapa tahun kemudian. Pada 1936, misalnya, NU sudah menyuarakan persatuan umat Islam Indonesia dan muktamarnya membahas tentang ulil amri serta kedudukan Hindia Belanda dalam hukum Islam. 


KH Ahmad Sanusi dan Sinar Pasoendan mungkin akan mengubah pendapatnya pada 1937 saat NU turut serta membidani Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang mendudukkan KH Wahid Hasyim menjadi salah seorang pemimpinnya. Kemudian, pada 1939, lahir Gabungan Politik Indonesia (GAPI). NU juga turut serta mendukung gerakan Indonesia Berparlemen. 


Kemudian, lihatlah saat NU menyelenggarakan Muktamar Ke-14 di Magelang pada tahun yang sama. Menurut laporan koran Pemandangan No. 165, 24 Juli 1939, kegiatan tersebut diakhiri dengan pertemuan umum yang dihadiri 50.000 umat Islam, 10.000 di antaranya adalah kaum perempuan.   


“Itoelah soeatoe boekti poela najata2 pergerakan N.O. diperhatikan oemmat Islam,” tulis koran itu. 


Pada muktamar Magelang, Pemandangan menerbitkan laporan panjang berjudul “Nahdlatoel Oelama Mengjindjak oesia 14 tahoen dengan Congresnja jang ke XIV di Magelang.” Lead berita itu: “Langkah jang dapat diharap bagi menambah kekoeatan barisan pergerakan Islam di Indonesia. Perdjoeangan dengan memegang tegoeh hak dan kewadjiban oemat Islam.” 


Liputan itu dimulai dengan paragraf yang menunjukkan NU secara perlahan-lahan menunjukkan kemampuannya dalam memegang teguh cita-citanya dalam menemani semangat umat: 


“Sesoeatoe perhimpoenan mana poen djoega jg diorganiseerd menoeroet keboetoehan dan keadaan zaman, serta memegang tegoeh akan azas-toedjoeannja, disertai poela perdjoangannja selaloe memperhatikan keboetoehan dan keberatan2 ra'jat (oemmat) jg terbesar djoemblahnja, maka perhimpoenan jang demikian itoe moengkin dikenali dan diperhatikan orang, karena heberapa boeah oesahanja telah nampak di mata oemoem.” 


Di dalam berita tersebut ada anak judul “Nahdlatoel Oelama dengan Plan Perekonomian” yang menunjukkan NU akan memasuki lapangan perekonomian dengan mengusahakan impor dari luar negeri. Ada juga anak judul “Nahdlatoel Oelama dengan soal Pergoeroean dan Sociaal”—artinya, NU kala itu sudah bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial, tak hanya mengurusi hal-hal “jang tidak membawa kemadjoean penghidoepan rajat Islam.”

 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.