Fragmen

Hubungan Baik Gus Dur dan Kiai Betawi

Senin, 7 Januari 2019 | 18:45 WIB

Hubungan Baik Gus Dur dan Kiai Betawi

(Foto: Gus Dur bersama KH Abdurrahman Nawi, Habib Husein bin Ali Al-Aththas, dan Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf)

Gus Dur atau KH Abdurrahman bin KH Abdul Wahid memiliki kedekatan tersendiri dengan para kiai di Jakarta. Dari cerita 26 kiai yang diperkenalkan Gus Dur melalui kolom-kolomnya di pelbagai media dalam rentang 1979 M-1996 M, tiga di antaranya adalah kiai-kiai Betawi.

Kedekatan khusus Gus Dur bukan karena dilatarbelakangi oleh sekadar sesama tokoh NU, tetapi karena mereka adalah pemuka agama Islam yang dibesarkan dalam lingkungan tradisionalisme Islam. Selain Kiai Abdurrazaq Makmun dan Kiai Abduurazak Haidir yang jelas tokoh NU, Gus Dur juga menulis KH Abdullah Syafi’i yang berafiliasi politik ke Masyumi.

Gejala ini sejalan dengan analisis M Sobary dalam pengantar buku KHM Syafi’i Hadzami: Sumur yang Tak Pernah Kering karya Ali Yahya, yang menyebut pandangan yang terlanjur mapan perihal pembagian kelompok tradisionalis dan kelompok modernis yang segera menempatkan Islam Betawi sebagai bagian dari kelompok tradisionalis.

“Analisis itu dengan sendirinya juga cepat menempatkan kaum tradisionalis ke dalam kubu NU, padahal warna-warni tradisionalis itu lebih luas lagi. Banyak kalangan yang bisa dikategorikan sebagai tradisionalis meskipun tak ada hubungan dengan NU; termasuk ketika NU berdiri sebagai partai politik,” (Ali Yahya, 2012: 10).

Adapun 26 kolom yang mengangkat "rasionalitas” kiai ini kemudian dikumpulkan oleh LKiS pada 1997 M dengan Judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Cetakan kesepuluh buku ini jatuh pada 2010 M. Buku saku ini diberi pengantar oleh M Sobary yang juga pernah melakukan riset antropologis terhadap masyarakat Betawi pinggiran di bilangan Ciater Serpong pada 1986 M yang dibukukan dalam Fenomena Dukun dalam Budaya Kita terbitan Pustaka Firdaus.

Gus Dur memang memiliki kedekatan khusus. Namun demikian Gus Dur berjarak dengan mereka sehingga memungkinkannya menangkap bagaimana kecerdasan dan kebijaksanaan tiga kiai Betawi itu dalam mengatasi masalah sosial metropolitan yang tentu cukup unik dan kompleks di antara masalah umat yang dihadapi para kiai di belahan dunia lainnya.

Dalam artikel Kiai Razaq yang Terbakar yang dimuat Tempo pada 1980 M, Gus Dur menceritakan KH Abdurrazaq Makmun (Kiai Razaq) dari Mampang Prapatan yang menjadi basis NU pada tahun 1950an.

Kiai Razaq adalah seorang ahli dalam bidang fiqih yang kealimannya diakui oleh Rais Aam PBNU 1971-1980 KH Bisri Syansuri “sebagai salah satu dari sedikit ulama Betawi yang mengerti hukum agama secara mendalam,” (Gus Dur, 2010: 29). Namun keahlian Kiai Razaq di bidang fiqih hanya tampak dalam forum terbatas bahtsul masail pada Muktamar dan Munas NU.

Sikap para kiai NU zaman dulu seperti Kiai Razaq mesti berbeda dengan tren kebanyakan ustadz sekarang ini. Apalagi dengan keahlian fiqih luar biasa, kebanyakan dengan pemahaman “sedikit” fiqih, hafal beberapa ayat dan hadits sudah banyak mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan modernitas.

Adapun Kiai Razaq di luar forum musyawarah NU itu hanya menyampaikan tema tunggal selama 10 tahun terakhir (1970-1980 M), yaitu anjuran untuk mempelajari ilmu agama yang disebut “mencari ilmu” dengan sedikit ayat Al-Quran dan hadits.

Menurut Gus Dur, Kiai Razaq memiliki rasionalitasnya sendiri untuk membawa umat Islam di Jakarta dalam menghadapi modernitas. Kiai Razaq memandang ilmu agama sebagai kekuatan umat dalam menyeleksi tradisi di tengah pergolakan dunia modern yang sangat tampak di Jakarta.

Kiai Razaq tidak resisten terhadap modernitas karena modernitas akan menjadi jinak ketika masih ada pemuka agama dengan pengetahuan Islam secara mendalam.

“Pantaslah kalau ia tidak begitu melihat ancaman proses modernisasi. Selama masih ada ulama yang berpengetahuan agama secara mendalam yang akan memimpin umat melakukan proses penyaringan atas jalannya modernisasi itu sendiri, kita tidak perlu histeris atau panik,” (Gus Dur, 2010: 30).

Di luar dugaan umat dikejutkan oleh pergantian tema tunggal ceramah sepuluh tahun terakhir Kiai Razaq dari “Mencari ilmu” ke transmigrasi. “Transmigrasi? Dari kiai tradisional ini? Dari mana ia peroleh gagasan itu? Apakah yang mendorongnya berbicara semangat tentang transmigrasi?” (Gus Dur, 2010: 30).

Gus Dur menilai gagasan transmigrasi tidak terpisah dari tema tunggal ceramah sepuluh tahun terakhir Kiai Razaq. Gagasan transmigrasi itu lahir dari renungan alam batin Kiai Razaq yang melihat transmigrasi sebagai penunjang kewajiban “Mencari ilmu”. Kiai Razaq gerah. Ia memutuskan untuk kampanye transmigrasi.

Transmigrasi menjadi wajib karena “mencari ilmu” juga wajib sesuai nalar kaidah fiqih. Bagi Kiai Razaq, transmigrasi adalah jalan alternatif untuk melakukan perbaikan sosial ekonomi umat Islam di Jakarta untuk menunjang kemunculan kelak ulama yang berpengetahuan mendalam.

“’Ane udah bentuk suatu yayasan untuk membantu pemerintah dalam soal transmigrasi,’ ujarnya dalam gaya khas Betawi pada sebuah penataran muballigh bulan puasa yang lalu. ‘Sayang nggak inget namenye. Maklum, panjang banget namenye,’” (Gus Dur, 2010: 32).

Gus Dur menangkap dengan baik gagasan visioner Kiai Razaq yang 20 tahun kemudian dapat dibuktikan kebenarannya. Kecuali itu, Gus Dur menyempatkan diri untuk mengutip gagasan substansial transmigrasi Kiai Razaq ketimbang nama programnya yang “panjang banget.”

Gus Dur menggambarkan tertawa para hadirin pelatihan karena pernyataan terakhir Kiai Razaq karena lupa dengan nama yayasan yang dibuatnya sendiri.

Ente semua jangan ketawa dulu. Pikir mateng-mateng pesan ane ini. Diskusiin biar lame. Tanggung deh ente semue nanti bakal kebakar dari gue sekarang… Dua puluh taon lagi tanggung deh ente semua bakal bilang Kiai Razaq orangnye jempol. Sekarang sih belum ketahuan!” (Gus Dur, 2010: 32-33).

KH Abdurrazaq Makmun adalah "golongan" Tegalparang, Mampang-Kuningan, Jakarta Selatan. Ia adalah cucu Guru Mughni Kuningan yang sempat mengenyam pendidikan "mukim" di Mekkah. Ia pernah menjadi Rais Syuriyah PBNU dan menjadi salah satu perwakilan kiai Jakarta yang menghadiri musyawarah NU ketika Hadlratussyekh Hasyim Asyari masih hidup.

Kediamannya menjadi pusat gerakan NU di Jakarta era Orde Lama yang biasa disinggahi KH Abdul Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) dan KH Abdul Wahab Hasbullah ketika mereka di Jakarta.


Alhafiz Kurniawan