Fragmen

Kisah Nyai Musyrifah, Merintis Muslimat NU dengan Semangat Kebersamaan

Jumat, 19 Januari 2024 | 10:00 WIB

Kisah Nyai Musyrifah, Merintis Muslimat NU dengan Semangat Kebersamaan

Nyai Musyrifah, pernah menjadi Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU hasil Kongres Muslimat NU di Semarang 1979. (Sumber foto: buku 50 Tahun Muslimat NU, ilustrasi: NU Online/Aceng)

Saat Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) berdiri pada 1946, Nyai Musyrifah masih berusia 19 tahun dan tinggal di Singosari, Malang, Jawa Timur. Ia kemudian ikut merintis organisasi perempuan NU itu di daerahnya.


Dalam buku 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama dan Bangsa dia melonggarkan syarat untuk menjadi anggota Muslimat NU saat pertama kali merintis. Sasaran utama tentu istri dari pengurus NU dan kalangan pesantren. Kemudian, untuk kegiatan baru dakwah dan pengajian.


Nyai Musyrifah pernah menjadi Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muslimat NU hasil Kongres Muslimat NU di Semarang tahun 1979. Dia banyak belajar dari sang suami, KH Ali Masyhar, terutama dalam menggerakkan organisasi. Sebagai organisasi baru, banyak hal yang perlu disiapkan. Selain persoalan anggota, masalah lainnya yang tak kalah penting yakni dana.


Untuk membiayai kegiatan organisasi, ia melakukan berbagai cara untuk menggali dana. Salah satunya yang berhasil digali adalah dana dari program iuran anggota. Cara iuran atau urunan ini, memang sudah menjadi ciri khas warga NU, juga masyarakat Indonesia pada umumnya, untuk membiayai komunitas yang mereka ikuti. Cara ini dapat membuat pengurus dan anggota, merasa lebih memiliki organisasi.


“Dulu, keanggotaan Muslimat itu ada dua macam: anggota setia dan pendukung. Anggota setia wajib membayar iuran, sedangkan anggota pendukung tidak,” kata dia.


Cara penarikan iuran diatur dengan sistem kelompok. Tiap satu kelompok terdiri dari 10 orang, dengan seorang petugas penarik. Iuran wajib tersebut, lanjutnya, dibayar setiap bulan, setiap kali ada rutinan pengajian minggu keempat. Pengajian ini di samping sebagai forum dakwah, juga untuk sosialisasi.


Selain iuran, jumputan beras juga berjalan. Setiap rumah, di pintu depan, dipasang kaleng kecil. Ibu-ibu, setiap akan memasak, memasukkan berasnya dalam kaleng. Setiap minggu, beras itu dikumpulkan, kemudian dijual. Hasilnya untuk membiayai kegiatan organisasi.


Seiring perkembangan zaman, program kegiatan Muslimat NU yang ia pimpin, ditambah dengan pembinaan kader. Diselenggarakan kegiatan kursus dakwah, yang selain untuk menambah wawasan kader. Instrukturnya dihadirkan dari tokoh-tokoh NU setempat.


Begitulah, Nyai Musyrifah menggerakkan organisasi kaum ibu di NU. Cara urunan yang masih sering kita jumpai di kalangan warga NU. Sekilas, yang ia lakukan untuk menggerakkan organisasi akan terlihat biasa, bila dibandingkan dengan metode yang dilakukan pengurus Muslimat NU di zaman ini, yang mungkin sudah mengenal adanya proposal dan penggalangan dana dengan cara lainnya. Tentu, beda zaman, beda cara.