Fragmen

Kisah Peci Hitam, Bung Karno, dan Mbah Wahab

Rabu, 3 Juni 2015 | 01:01 WIB

Bagi Bangsa Indonesia, peci hitam memiliki arti penting. Peci ini dipakai Presiden pertama RI keliling dunia. Tak ayal, para pemimpin negara sahabat pun akrab dengan peci tersebut. Di mana peci hitam tampak, di situlah orang Indonesia disebut. Peci hitam memang menjadi identitas kebangsaan kita.<>

Dalam buku “Berangkat dari Pesantren”, Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri menceritakan tentang uniknya peci hitam. Suatu ketika, di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 muncul kisah menarik.

Bung Karno, kata Kiai Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran. Akan tetapi, semuanya dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia.

“Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” ujar Bung Karno sambil melihat respon hadirin.

Dengan yakin dan percaya, proklamator itu menegaskan tidak ada melepas peci hitam saat acara resmi kenegaraan.

“Tetapi soal Peci Hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Benar enggak, Kiai Wahab?” tanya Bung Karno pada Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA, KH Abdul Wahab Hasbullah.

Dengan tangkas, Mbah Wahab pun segera menimpali lontaran Bung Karno itu. “Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab sang kiai.

Sontak, pernyataan kiai kharismatik ini langsung disambut gelak tawa seluruh anggota DPA. Suasana pun meriah oleh canda tawa dan tepuk tangan hadirin.

“Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah. Karena itu, ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad. Ya, Ahmad Soekarno,” seloroh Kiai Wahab yang lagi-lagi disambut gelak tawa hadirin. (Musthofa Asrori)

 

Disarikan dari buku “Berangkat dari Pesantren”, karya KH Saifuddin Zuhri