Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat terpilih sebagai lokasi perhelatan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 yang berlangsung pada 27 Februari-1 Maret 2019. Pesantren yang didirikan oleh Kiai Marzuqi pada 1911 ini menyimpan banyak cerita sejarah.
Dalam catatan Ahmad Iftah Sidik (2019) ditegaskan bahwa Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar didirikan oleh Kiai Marzuqi, salah satu anggota keluarga Pesantren Sumolangu Kebumen, Jawa Tengah. Sebagaimana Sumolangu, darah pejuang juga mengalir dalam diri keluarga Pesantren Citangkolo ini.
Mereka dulu rata-rata tergabung dalam AOI (Angkatan Oemat Islam), barisan pejuang kiai dan santri yang didirikan oleh Kiai Sumolangu atas perintah Hadhratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari, Pendiri NU.
Pesantren Citangkolo ini, dulu berkali-kali dibakar penjajah Belanda yang marah karena sering diserbu gerilyawan AOI. Beberapa keluarga pesantren juga ada yang ditangkap Belanda dibawa ke penjara Ambarawa dan tak jelas lagi di mana rimbanya hingga saat ini.
Ikut andil dalam perjuangan mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membuat masyarakat Sumolangu dan Citangkolo memiliki kebanggaan tersendiri. Harga dirinya sangat tinggi, diiringi ketaatan dan keramahan ala santri.
Rasa bangga dan harga diri sebagai bagian dari pendiri republik ini pernah menimbulkan salah paham dengan pemerintah pusat, yang kemudian menganggap Pesantren Sumolangu dan jaringannya sebagai pemberontak dan ditumpas.
Karena operasi militer atas Pesantren Sumolangu itu pula, banyak keluarga Pesantren dan santri-santri senior yang melarikan diri dan berlindung jauh dari kampung asal mereka. Citangkolo adalah daerah terdekat yang dijadikan persembunyian.
Sebagian lain ada yang hijrah ke pedalaman hutan di Jember, Riau, kota-kota di Kalimantan, bahkan di Malaysia. Sebagian dari mereka lalu menetap, berdakwah dan mendirikan pesantren di tempat persembunyian tersebut.
Di masa Orde Baru, keluarga Pesantren Sumolangu dan Citangkolo juga kerap dicurigai akan menjegal dominasi politik pemerintah. Sehingga beberapa keluarga kiai ditangkap dan diinterogasi serta disiksa, sebelum ditahan.
Bedug Jimat KH Marzuqi
Meski terus ditekan, jiwa pejuang tidak pernah surut di dada keluarga pesantren. Baru setelah reformasi dan orde baru runtuh, masyarakat Citangkolo dan Sumolangu merasa benar terlepas dari kecurigaan dan intimidasi penguasa. Kini keluarga Pesantren dan masyarakat bisa sepenuhnya berjuang untuk NU dan bangsa yang dicintainya jauh sejak zaman penjajahan.
Saat ini, pesantren yang membuka pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi ini memiliki sekitar 7.000 santriwan dan santriwati. Selain membuka pendidikan dan pengajaran kitab bagi para santri, pesantren yang saat ini diasuh oleh KH Munawir Abdurrohim ini juga memberikan pengajian kitab rutin bagi masyarakat sekitar.
Selain makam KH Abdurrohim di terletak di dalam komplek pesantren, terdapat juga benda keramat berupa bedug. Oleh pihak pesantren, benda tersebut dinamakan Bedug Jimat KH Marzuqi. Dari namanya, benda yang terbuat dari bahan kayu atau pohon tangkalo ini merupakan benda istimewa yang dibuat oleh pendiri pesantren, Kiai Marzuqi. (Fathoni)