Fragmen

Muallim Radjiun: Antara Pekojan–Pulau Seribu (1)

Sabtu, 25 Februari 2012 | 23:17 WIB

MENGHADAP meja tak jauh dari pintu di ruang belakang, Bapak asyik membaca kitab kuning berbahasa Arab gundul diterangi temaram lampu semprong. Suasana di luar gelap. Malam itu, sekira pukul sembilan malam di awal tahun 90-an, seisi Pulau Tidung memang gelap gulit. Mesin disel yang biasa meyuplai aliran listrik di pulau seluas 50-an hektar ini ngadat.

<>Jadilah penerangan di rumah-rumah penduduk menggunakan lampu semprong atau petromak, yang biasa digunakan saat nelayan menangkap ikan malam hari.

Aktivitas mendaras kitab kuning “sudah tradisi” Bapak. Dilakukan bahkan hingga larut malam. Saat bangun malam lantaran kebelet buang air kecil, sering saya lihat Bapak masih asyik memelototi kitab-kitab itu ditemani kopi, dan lain-lain. Lain waktu saya lihat Bapak menyalin aksara Arab dari kitab kuning ke buku tulis.

Malam itu saya sengaja menyela Bapak. Musababnya, materi pelajaran bahasa Arab yang bikin puyeng. Kalau tak salah ingat soal jar-majrur, salah satu bentuk sintaksis dalam gramatika bahasa Arab. Saya duduk di bangku kelas satu Madrasah Tsanawiyah Al-Islah Islamiyyah waktu itu. Sekolah setingkat SLTP satu-satunya di pulau ini didirikan beberapa tokoh agama di pulau Tidung akhir tahun 70-an. 

Dengan sabar Bapak menjelaskan ihwal jar-majrur. Tapi, tak semua penjelasannya saya mengerti. Sebagian masih harus meraba-raba. Apalagi Bapak menyebut sejumlah istilah baru lainnya seperti menyebut nama-nama ikan yang biasa dipancing orang pulau. Saya sendiri heran, bagaimana caranya Bapak bisa membaca kitab tak bersyakal. Yang bersyakal saja sulit, apalagi yang “gundul”.

“Bapak belajar di Pekojan dengan Muallim Rojiun. Setelah itu mondok di Tebuireng,” begitu jawabannya ketika saya tanya dimana belajar membaca agama dan kitab kuning. Itulah pertama kalinya saya dengar nama Muallim Radjiun.

Bapak bilang juga, di Pekojan ia tak belajar sendiri. Ada beberapa teman sebayanya yang ikut belajar di daerah itu. “Hidup di perantauan, apalagi sedang belajar, harus meri (prihatin),” katanya dengan mimik serius. Bapak ingat, untuk menjerang air panas saat membuat kopi, teman saat membaca kitab, ia tak merebus dengan kompor. “Pakai lampu semprong kayak ini”. Telunjuknya menuding lampu semprong di depannya. Lampu semprong ditempel di dinding kayu. Di atasnya dipasang lingkaran besi kecil seukuran mug. Lalu mug berisi air dijerang. Jadilah lampu semprong, kompor pemanas air.

Tiga kata itu tak lengkap Bapak ceritakan. Entah mengapa, saya pun tak bertanya lebih jauh waktu. Belakangan barulah saya tahu ceritanya dari berbagai sumber.

Sang Muallim
“Sebelum melanjutkan ke materi berikutnya, biasanya Muallim Radjiun meminta para santri mengulang membaca pelajaran sebelumnya,” kata H. Dja’far Arsy suatu ketika. Kepada saya, guru fikih di Madrasah Tsanawiyah ini banyak menuturkan kisah hidupnya. Lelaki berusia 80-an tahun itu salah seorang teman Bapak saat belajar di Pekojan.

Ini nama lengkap Muallim Radjiun: Mohammad Radjiun bin Abdurrahim bin Muhammad Nafe bin Abdulhalim. Kata “muallim” di depan nama Rajiun itu panggilan kehormatan terhadap tokoh dan pemuka ulama di lingkungan masyarakat Betawi.

Berasal dari bahasa Arab, secara harfiah ‘muallim’. Asal katanya, allama, yu’allimu, ta’lim berarti mengajar. “Sama sekali berbeda dengan arti sebagai ahli mengemudikan kapal,”kata KH. Abdurrahman Wahid dalam tulisannya “Mualim Syafi'i” di Tempo, 5 Oktober 1985.

Untuk pengertian yang sama, di Jawa orang biasa menyebutnya dengan sebutan ‘kiai’, ‘lebai’ di Minang, atau ‘tuan guru’di lombok. Belakangan, kata muallim juga digantikan kiai setelah terjadi proses jawanisasi.

Di Syria, Libanon, dan Mesir, sebutan ‘muallim’ juga umum digunakan untuk memberi penghormatan kepada para ulama dan pendidik, terutama yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Kalau sekadar guru, panggilannya ‘mudawis’ atau ‘ustadz’. Di Iran dan Irak masyarakat biasa meyebut mulla untuk arti yang setara dengan muallim. “Belakangan, setelah ada proses ‘jawanisasi merangkak’, ‘muallim’ berganti kiai haji’,” terang Gus Dur lagi.

Lahir di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada 1916, Muallim Radjiun menghabiskan masa mudanya dengan menimba ilmu dari beberapa ulama Betawi, sampai pada akhirnya bersama sang adik, Hasanat, pergi ke Mekkah. “Salah satu ulama betawi yang menjadi guru Muallim Rajiun adalah Guru Mansur,” terang Abdul Aziz dalam bukunya, Islam dan Masyarakat Betawi.

Guru Mansur satu di antara enam ulama besar yang dikenal dengan sebutan “Enam pendekar Betawi” abad ke-19. Ulama dengan nama lengkap Mohammad Mansur ini lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat, tahun 1878. Di Mekkah ia berguru di antaranya dengan Syaikh Ali Al-Maliki dan Syaikh Umar Bajunaid.

Jika ditelusuri dari jalur bapak, Muallim Radjiun masih memiliki kekerabatan dengan Habib Husien Luar Batang. Kumpinya, Abdul Halim, dikuburkan satu kompleks dengan keluarga Habib Husien yang ada di Masjid Kramat Luar Batang. Kumpi, bahasa Betawi, berarti kakek. (Alamsyah M. Dja’far)