Wakil Ketua Fraksi NU di DPR RI yaitu AS Bachmid (berpeci hitam) pada 1953 (Foto: Repro Gema Muslimin)
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata naturalisasi bermakna pemerolehan kewarganegaraan bagi penduduk asing; hal menjadikan warga negara; pewarganegaraan yang diperoleh setelah memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Di masa kini, kata ini menjadi populer, seiring program yang diadakan tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia, untuk menaturalisasi sejumlah pemain potensial menjadi bagian dari timnas. Tentu, tidak semua pemain dapat dinaturalisasi, selain terdapat ketentuan yang mengaturnya, juga tergantung pada kesediaan sang pemain.
Nah, berbicara mengenai naturalisasi ini, rupanya Nahdlatul Ulama pernah melakukan upaya ini pada tahun 1950-an, tepatnya ketika organisasi sosial keagamaan ini menjadi partai politik (parpol) dan bersiap untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955.
Tentu, konteks 'naturalisasi' yang dilakukan NU saat itu, bukanlah menjadikan Warga Negara Asing (WNA) untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), melainkan sebuah upaya akselerasi untuk mendapatkan kader-kader potensial agar masuk ke dalam NU.
Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967 (LKiS, 2009, hlm 129) menuliskan upaya perekrutan ini dilakukan setelah NU keluar dari Partai Masyumi di tahun 1952. Sebagian dari kader NU yang paling handal telah memegang jabatan di Masyumi dan enggan melepaskannya. Di sisi lain, NU tidak memiliki dana dan kekayaan yang cukup, sementara administrasi dan kepengurusan cabang-cabangnya mengalami kemandekan
"Ketika pertama kali menjadi partai, NU berada dalam keadaan gawat. Hanya sedikit di antara pemimpin organisasi ini, yang mempunyai pengalaman politik dan hampir tidak ada, di antaranya yang berpendidikan modern yang dipandang perlu untuk penyelenggaraan lembaga tinggi negara."
Terkait dengan sedikitnya jumlah kader NU yang memiliki gelar akademik di masa itu, juga diakui KH A Wahid Hasyim, yang menurutnya untuk mencari akademisi di dalam NU, saat itu, ibarat mencari orang berjualan es pada waktu jam 1 malam. Meskipun, hal tersebut juga bukan menjadi satu-satunya kunci kemajuan organisasi. Sebagaimana tulisan Kiai Wahid Hasyim yang disusun kembali oleh A Sjahri dalam artikel "Mengapa Saja Memilih Nahdlatul Ulama?" (Majalah Gema Muslimin, 1953, hlm 206-207)
"Bahwa banjanknja orang terpeladjar tinggi di dalam sesuatu perhimpunan atau partai, bukanlah menjadi djaminan bahwa perhimpunan atau partai itu akan madju, sebab jang menentukan madju mundurnja sesuatu perhimpunan atau partai itu bukanlah otak semata-mata, tetapi jang terutama jalah mentaliteit (tau kalau memakai bahasa gama: budi dalam arti jang luas),"
Tentu, idealnya kemudian adalah mencetak atau menemukan kader yang memiliki gelar akademis serta bermental seperti yang diharapkan Kiai Wahid dalam tulisannya tersebut.
Proses perekrutan
Maka dimulailah proses perekrutan ataupun menarik kembali warga NU, meminjam istilah dari Greg Fealy, yang keluyuran di Masyumi. Mereka dikirimi surat secara pribadi dari PBNU atau ada juga yang ditemui secara langsung agar mau kembali ke NU. Namun, usaha ini tentu tidak selalu berjalan mulus. Banyak penolakan yang terjadi, dengan faktor NU yang kala itu, dalam konteks parpol, belum memiliki banyak tawaran yang menarik.
Dengan keadaan demikian, Rais Aam PBNU, KH A Wahab Chasbullah tetap optimis. Ia mengibaratkan apabila ia membeli sebuah mobil baru dan membuka lowongan sopir, tentu akan banyak yang mengantri untuk mendaftar. Sebagian juga beralasan atas dasar kesetiaan pada gagasan partai Islam tunggal.
Proses rekruitmen juga tidak lakukan sembarangan, tetapi dibatasi dengan syarat tertentu. Semisal, calon-calon diminta menjadi anggota percobaan yang berada di bawah pengawasan ketat para pengurus, sebelum mendapatkan keanggotaan penuh dan dianggap layak untuk menduduki posisi dengan wewenang tertentu. Calon yang tidak lolos akan dibatalkan peluangnya untuk menjadi anggota penuh. Proses ini, sekaligus dapat mencegah masuknya para pembonceng yang bergabung hanya untuk kepentingan pribadi. (Fealy, hlm 137)
Baca Juga
Kampanye Partai NU
Beberapa kader hasil rekrutan tersebut antara lain Mr. Imron Rosjadi (pernah menjadi wakil diplomatik di Irak), Mr. Sunarjo (ahli hukum dan akademisi), Mohammad Hanafiah (pernah menjadi Bupati Rantau, Kalsel), Rachmat Muljomiseno (bankir terkemuka), R Saleh Surjoningprodjo (pensiunan Bupati Bondowoso), Burhanuddin (Pejabat tinggi di Kementerian Perekonomian dan Kesra), Tan Kiem Liong/Mohamad Hasan (Wakil Golongan Ketjil Tionghoa di DPR RI), dan lain sebagainya.
Model perekrutan lain, adalah dengan membuat wadah-wadah baru yang kemudian disebut badan otonom (banom) maupun lembaga, yang menjangkau ke banyak segmen, baik berbasis profesi maupun usia. Selain GP Ansor, Muslimat, dan Fatayat, kemudian dibentuklah IPNU dan IPPNU. Kemudian untuk organisasi berbasis profesi dibentuklah Sarekat buruh, nelayan, tani, dan lain-lain.
Pada akhirnya, NU dapat meraih hasil yang cukup signifikan di Pemilu 1955. Dari 7 kursi perwakilan anggota DPR RI di masa awal keluar dari Masyumi, menjadi 45 kursi di DPR RI dan 91 di Konstituante RI. Sedangkan, apabila dilihat dari jumlah suara yang didapatkan, NU berhasil mendapat hampir mencapai 8 juta suara.
DPR RI hasil Pemilu 1955 tersebut dibubarkan setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun, hanya selang beberapa minggu, anggota DPR RI tersebut kembali dilantik, dengan beberapa sedikit pergantian, namun dengan jumlah yang sama, yakni 45 kursi. Berikut susunan Anggota DPR RI Dalam Rangka UUD 1945 (23 Juli 1959 - 24 Juni 1960) dari Fraksi Partai NU:
1. R Abdoellah Afandi
2. Abdul Aziz Dijar
3. Abdul Djalil
4. Abdullah Gathmyr
5. KH Abdulwahab Chasbullah
6. K Achmad Ghozali
7. K Achmad Siddiq
8. Achmad Sjaichu
9. H A A Achsien
10. Ajip Muchamad Dzukhri
11. RTA Moh Ali Pratamingkoesoemo
12. H Anwar Musaddad
13. Nj Asmah Sjahrunie
14. Hussein Saleh Assegaff
15. A Chamid Widjaja
16. KH Moh Dachlan
17. Djadja Wiriasumita
18. Nj Hadinijah Hadi
19. Moh Hanafiah
20. Mr Imron Rosjadi
21. Moh Amin Iskandar
22. Josotaruno Ichsan Noer
23. Nj Mahmudah Mawardi
24. Maniudin Brodjotruno
25. Njaju Hadji Marian Kanta Sumpena
26. Nj Marijamah Djoenaidie
27. KH Masjkur
28. H Moedawari
29. H Moeslich
30. KH Moesta’in
31. H Munir Abisudjak
32. H A Mursjidi
33. Murtadji Bisri
34. KH Muslich
35. Moh Noor Abdulgani
36. Ridwan Sjahrani
37. KH Muh Saifuddin
38. R Moh Saleh Soerjaningprodjo (mundur 12/10/1959, digantikan Kandjun Koesnomihardjo, dilantik 3/2/1960)
39. Soelaeman Widjojosoebroto
40. Saifuddin Zuhri
41. Tan Kiem Liong/Mohamad Hasan
42. KH Moh Wahib
43. H Zain Alhabsji
44. Zainal Arifin Tanamas
45. H Zainul Arifin (Wk Ketua I DPR RI)
Pengganti:
1. Mahfud Sjamsulhadi (menggantikan M Soentoro)
Ajie Najmuddin, peminat sejarah, penulis buku "Menyambut Satu Abad NU 'Sejarah dan Refleksi Perjuangan Nahdlatul Ulama Surakarta dan Sekitarnya"
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua