Fragmen

Sungai di Fez Maroko, Saksi Bisu Keberkahan Kitab Al-Ajurrumiah

Jumat, 25 Oktober 2024 | 20:00 WIB

Sungai di Fez Maroko, Saksi Bisu Keberkahan Kitab Al-Ajurrumiah

Sungai di Kota Fez, Maroko.

Sungai di Kota Fez mengalir dengan jernih nan tenang di antara jajaran rapi bangunan-bangunan tua berarsitektur khas di bantarannya. Sungai ini bukan sekadar sarana kehidupan, tetapi juga menjadi saksi bisu atas pembuktian ketulusan seorang ulama yang dikenal dengan nama Imam as-Shanhaji.

 

Nama itu tak asing bagi kalangan pesantren mengingat karya tulisnya menjadi rujukan pertama dan utama dalam mengkaji ilmu tata bahasa Arab. Kitabnya itu dikenal dengan judul Al-Ajurrumiyyah.

 

Kitab sederhana ini diformat dengan sangat singkat dan amat padat, tetapi sarat akan makna. Untuk bisa membaca kitab kuning, memahami kitab Al-Ajurrumiyyah bagi para santri menjadi pondasi paling pokok.

 

Kitab yang ditulis di Maroko itu sampai di tangan santri-santri Indonesia sejak dahulu. Tentu tidak lain hal itu berkat keikhlasan penulisnya. Ia berusaha menjadikan Allah sebagai tujuan utama, tanpa mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia.

 

Imam as-Shanhaji, bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ajurrum as-Shanhaji. Ia lahir di Fes pada tahun 672 H dan wafat pada tahun 723 H. Karyanya dikenang sepanjang masa, sebagaimana telah dicatat oleh sejarawan kontemporer, az-Zirikli, dalam salah satu kitabnya ia mengatakan:

 

‎اِبْنُ آجُرُّوْم (672 - 723 هـــ = 1273 - 1323 مــ) مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ دَاوُدَ الصَّنْهَاجِيِّ، أَبُوْ عَبْدِ اللهِ: نَحْوِيٌّ، اِشْتَهَرَ بِرِسَالَتِهِ

 

Artinya, “Ibnu Ajurrum (672-723 H = 1273-1323 M), Bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shanhaji, Abu Abdillah, ulama pakar ilmu nahwu yang terkenal dengan kitabnya (al-Ajurrumiyyah).” (al-A’lam, [Darul Basyairil Islamiah: 2015], jilid V, halaman 33).

 

Kisah keikhlasan di Tepian Sungai Fez

 

Cerita sungai yang membuka tulisan ini amat erat kaitannya dengan sosok Imam as-Shanhaji dan magnum opusnya itu. Setelah rampung Kitab al-Ajurrumiyyah disusun, Imam as-Shanhaji ragu akan keikhlasannya dalam menulisnya. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah karyanya ditulis dengan ikhlas semata karena Allah atau ada niat tersembunyi, seperti pujian dan sanjungan orang lain. Dalam kondisi ini, ia melakukan ujian terhadap niatnya. Ia membawa kitab tersebut ke tepi sungai dan berkata demikian.

 

‎اِنْ كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِ اللهِ تَعَالَى فَلَا يَبُلَّ

 

Artinya, “Apabila (kitab ini) murni ikhlas semata karena Allah swt, maka (tentu) tidak akan basah.”

 

Setelah mengucapkan kata tersebut, Imam as-Shanhaji melemparkan kitab al-Ajurrumiyyah ke dalam aliran sungai. Keajaiban pun terjadi. Dengan kuasa Allah, kitab tersebut tidak basah sama sekali. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa karyanya disusun dengan niat ikhlas murni semata karena Allah swt.

 

Kisah tersebut dicatat oleh Imam Hasan bin Ali al-Kafrawi asy-Syafi’i al-Azhari (wafat 1202 H) dalam Syarah kitab al-Jurumiyyah, berjudul Syarhul Kafrawiala Matnil Ajurrumiyyah.

 

Peristiwa ini mengajarkan pentingnya keikhlasan dalam segala amalan, termasuk penulisan karya ilmiah. Imam as-Shanhaji menjadi teladan dalam menulis ilmu dengan penuh keikhlasan, mengutamakan ridha Allah di atas segalanya.

 

Keikhlasan yang diajarkan Imam as-Shanhaji relevan tidak hanya dalam penulisan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Ketika santri mempelajari al-Jurumiyyah, mereka tidak sekadar belajar tata bahasa Arab, tetapi juga pentingnya niat dalam setiap tindakan. Setiap pelajaran, doa, dan usaha harus dilandasi keikhlasan, sebagaimana dicontohkan oleh penulis.

 

Sungai Kota Fez menjadi saksi peristiwa spiritual mendalam, di mana alam dan iman bertemu dalam momen keajaiban. Sungai ini kini dikenang bukan hanya sebagai elemen alam, tetapi juga sebagai tempat kelahiran kitab penuh hikmah.

 

Meski ada perbedaan pendapat di kalangan cendekiawan Muslim Maroko tentang lokasi pembuangan kitab al-Ajurrumiyyah, kebanyakan sepakat bahwa sungai ini menjadi cikal bakal keberkahan dan kemasyhuran kitab tersebut.

 

Setelah kejadian di sungai, al-Ajurrumiyyah mulai dikenal luas di kalangan ulama dan penuntut ilmu. Kitab ini menjadi dasar bagi siapa saja yang ingin mendalami nahwu. Dengan bahasa ringkas namun padat, al-Ajurrumiyyah memudahkan pemahaman tata bahasa Arab bagi pemula (mubtadi). Hingga kini, kitab ini menjadi pelajaran wajib di hampir seluruh pondok pesantren di Indonesia.

 

Al-Ajurrumiyyah menjadi modal utama bagi santri memahami kitab-kitab kuning, yaitu karya klasik bahasa Arab tanpa harakat. Memahami kitab kuning adalah syarat utama bagi siapa saja yang ingin mendalami ilmu agama Islam, karena banyak literatur klasik dalam fiqih, tafsir, hadits, dan lainnya ditulis dalam format tersebut.

 

Bagi banyak santri di Indonesia, al-Ajurrumiyyah adalah pintu gerbang memasuki dunia keilmuan Islam. Dengan menguasai kitab ini, mereka dapat melangkah lebih jauh dalam memahami kitab-kitab lain yang lebih kompleks, seperti Imrithi, Kawakib ad-Durriyyah, hingga Alfiyyah Ibnu Malik dan Jami’ud Durus, kitab nahwu lanjutan banyak dipelajari di pesantren. Al-Ajurrumiyyah, meskipun sederhana, memberikan pondasi kuat bagi santri memahami struktur bahasa Arab, kunci utama dalam mengkaji teks-teks syariat Islam.

 

Hingga kini, al-Ajurrumiyyah masih diajarkan di banyak lembaga pendidikan Islam di seluruh dunia. Kitab ini tidak hanya dipelajari di pesantren-pesantren Indonesia, tetapi juga di universitas-universitas Islam di berbagai negara. Kitab ini menjadi dasar bagi pelajar yang ingin memahami bahasa Arab klasik, kunci untuk mempelajari Al-Qur’an, hadits nabi, dan teks-teks penting lainnya dalam tradisi Islam berbahasa Arab (turats).

 

Keberhasilan al-Ajurrumiyyah sebagai rujukan penting dalam pendidikan Islam membuktikan bahwa ilmu yang ditulis dengan ikhlas akan terus hidup dan bermanfaat bagi generasi mendatang. Imam as-Shanhaji, dengan keikhlasannya, memberikan kontribusi luar biasa bagi dunia Islam, dan karyanya terus menginspirasi para pelajar hingga hari ini. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Sunnatullah, penulis adalah penerima program Kepenulisan Turots Ilmiah Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko.