Internasional 2 TAHUN GENOSIDA ISRAEL

Akar Konflik Palestina-Israel: Jejak Kolonial yang Melatarbelakangi Genosida

NU Online  ·  Senin, 6 Oktober 2025 | 15:30 WIB

Akar Konflik Palestina-Israel: Jejak Kolonial yang Melatarbelakangi Genosida

Pengungsi Palestina dalam perjalanan ke Lebanon, Oktober 1948. (Foto: Palestine Remembered)

Jakarta, NU Online

Agresi militer Israel di Gaza, yang telah berlangsung selama hampir dua tahun sejak 7 Oktober 2023, bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Dengan korban jiwa yang telah melampaui 66.000 jiwa, tindakan Israel ini lebih tepat disebut sebagai genosida dan pembersihan etnis yang sistematis, sebuah kulminasi dari proyek colonial-settler (pemukim kolonial) yang berjalan lebih dari seabad. 


Majelis Umum ke-80 PBB tahun ini mengadopsi Deklarasi New York yang diketuai bersama oleh Arab Saudi dan Prancis sebagai fondasi Solusi Dua Negara. Namun, Ketua PBNU Ahmad Suaedy berpendapat bahwa dukungan kemerdekaan Palestina tidak dapat selesai hanya pada Solusi Dua Negara. Ia menyebut harus ada batas wilayah yang jelas antara Israel dan Palestina.


“Jadi, Two States Solution itu artinya Israel kembali kepada batas wilayah yang tahun 1948. Itu sangat krusial, bisa dipastikan perundingannya akan sangat alot,” ujar Suaedy kepada NU Online.


Perampasan tanah Bangsa Palestina adalah akar masalah yang tidak dapat diabaikan dalam upaya dan dukungan kemerdekaan negara tersebut. Sementara itu, tak hanya pada sengketa wilayah, beberapa peristiwa seperti politik kolonial dan penyangkalan terhadap kedaulatan bangsa Palestina juga menunjukkan akar historis dari genosida Israel hari ini.


Deklarasi Balfour (1917): Janji Kolonial di Atas Tanah Bangsa Lain

Deklarasi Balfour sering kali hanya dikisahkan sebagai “pernyataan dukungan" bagi kaum Yahudi. Namun, dalam sudut pandang kritis, deklarasi ini merupakan dokumen kolonial klasik yang berisi sebuah janji dari kekuatan imperial (Inggris) kepada satu kelompok (Zionis) atas tanah yang dihuni oleh bangsa lain (Palestina).


Britannica menulis deklarasi ini merupakan hasil korespondensi Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada seorang Pemimpin Yahudi di Inggris Lord Rothschild pada 2 November 1917. Surat tersebut mendeklarasikan dukungan untuk pendirian sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina. 


Yang krusial, surat ini hanya menyebut "komunitas non-Yahudi" di Palestina dan bukan memilih diksi “bangsa" atau "rakyat” untuk rakyat Palestina sebagai kelompok yang hak-hak sipilnya tidak boleh dirugikan. Dengan demikian, ada indikasi merendahkan yang mengabaikan keberadaan dan aspirasi nasional lebih dari 90 persen populasi Palestina saat itu, sedangkan komunitas Yahudi hanya sebesar 10 persen.


Seperti dijelaskan Al Jazeera, deklarasi ini dibuat di tengah Perang Dunia I. Kala itu, Inggris berusaha memenangkan dukungan komunitas Yahudi internasional sekaligus mengamankan kepentingan strategisnya di Timur Tengah pasca-Kekaisaran Ottoman. Dengan kata lain, deklarasi ini menunjukkan Inggris memberikan tanah yang bukan miliknya untuk orang-orang Yahudi (a land without people for a people without land).


Mandat Inggris (1922-1948): Memfasilitasi Proyek Pemukiman Zionis

Setelah kekalahan Ottoman, Liga Bangsa-Bangsa memberikan Mandat atas Palestina kepada Inggris. Periode ini bukanlah masa pembinaan menuju kemerdekaan bagi penduduk asli Palestina, melainkan sebuah pemerintahan kolonial yang secara aktif memfasilitasi proyek Zionis.


Mandat tersebut secara resmi memasukkan Deklarasi Balfour ke dalam hukum internasional, seperti tercantum dalam arsip PBB. Tugas Inggris menjadi ambigu: di satu sisi mengatur seluruh populasi, di sisi lain berkewajiban membantu imigrasi Yahudi dan pembentukan "tanah air".


Kebijakan Inggris memungkinkan gelombang besar imigrasi Yahudi, terutama dari Eropa, yang didorong oleh meningkatnya anti-Semitisme. Populasi Yahudi membengkak dari di bawah 10% menjadi sekitar 30% pada akhir 1940-an. Sementara itu, kepemilikan tanah warga Palestina yang mayoritas petani terus tergusur melalui kebijakan dan transaksi yang sering kali tidak adil, memicu ketegangan sosial-ekonomi yang mendalam.


Pemberontakan Arab Besar (1936-1939): Perlawanan Rakyat terhadap Kolonialisme Ganda

Pemberontakan antara 1936-1939 bukan sekadar kerusuhan, melainkan perang kemerdekaan rakyat Palestina melawan kekuasaan kolonial Inggris dan ancaman pemukiman Zionis.


Seperti dilansir dari Palestine Quest, pemberontakan ini dipicu oleh kemiskinan struktural, perampasan tanah, dan kebijakan Inggris yang meminggirkan kepentingan Arab. Masyarakat Palestina menyadari mereka berhadapan dengan dua musuh: pemerintahan kolonial Inggris dan gerakan pemukim Zionis yang didukung oleh kekuatan tersebut.


Pemberontakan, yang dipimpin oleh Komite Tinggi Arab, menuntut penghentian imigrasi Yahudi, pelarangan penjualan tanah, dan kemerdekaan. Inggris kemudian menanggapi pemberontakan ini dengan tindak represif seperti pemberlakuan darurat militer, eksekusi tanpa pengadilan, penghancuran rumah-rumah, dan pembentukan milisi Zionis untuk membantu menekan pemberontakan.

 

Kekalahan militer Palestina dalam pemberontakan ini melemahkan struktur sosial-politik mereka secara signifikan. Di saat yang bersamaan proyek Zionis menjadi semakin kuat.


Resolusi 181 PBB (1947)

Resolusi 181 PBB yang mengusulkan pembagian Palestina sering digambarkan sebagai "solusi dua negara". Namun, bagi sudut pandang Palestina dan hukum internasional, resolusi ini menunjukkan ketimpangan yang besar dalam hak atas tanah rakyat Palestina.


Resolusi ini memberikan 55 persen tanah Palestina kepada negara Yahudi, yang saat itu hanya memiliki sekitar 7 persen kepemilikan tanah dan sepertiga populasi. Negara Arab hanya mendapat 45 persen, padahal jumlah mereka adalah dua pertiga populasi. 


Resolusi ini dinilai oleh dunia Arab dan Palestina sebagai pengabsahan internasional terhadap perampasan tanah. Mereka yang telah menjadi mayoritas selama berabad-abad merasa dirampok tanah leluhurnya untuk diberikan kepada sebuah gerakan pemukim yang didukung oleh kekuatan Barat. Penolakan Arab terhadap resolusi ini bukanlah penolakan terhadap perdamaian, melainkan penolakan terhadap ketidakadilan yang dilembagakan.


Nakba (1948): Malapetaka yang Menjadi Fondasi Israel

Nakba (yang berarti "malapetaka" dalam bahasa Arab) bukan sekadar perang yang berujung pada kekalahan. Nakba adalah proses pembersihan etnis yang terencana dan sistematis yang menjadi fondasi berdirinya Negara Israel.


Pada 14 Mei 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Keesokan harinya, pasukan dari negara-negara Arab (Mesir, Yordania, Irak, Suriah, dan Lebanon) melancarkan serangan. Namun, narasi bahwa ini adalah "perang lima negara melawan Israel yang kecil" pada akhirnya mengaburkan realitas.

 

Sebagian besar pertempuran terjadi setelah milisi Zionis seperti Haganah (cikal bakal pasukan IDF) dan Irgun telah melancarkan Operasi Dalet, sebuah rencana militer untuk mengusir penduduk Palestina secara paksa dari wilayah yang mereka klaim.


Selama Nakba, lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari rumah dan tanah mereka dengan kekerasan, pembantaian (seperti di Deir Yassin), dan teror psikologis. Lebih dari 500 desa dihancurkan hingga rata dengan tanah, melansir Al Jazeera.

 

Tanah, rumah, dan harta benda rakyat Palestina diambil alih oleh negara Israel baru tanpa kompensasi. Israel adalah sebuah negara yang dibangun di atas penderitaan dan pengusiran penduduk aslinya.


Genosida yang berlangsung hingga hari ini di Gaza adalah kelanjutan logis dari rangkaian sejarah panjang. Nakba 1948 adalah peristiwa yang belum bisa disebut berakhir. Nakba adalah proses yang terus berlanjut dengan semakin tingginya krisis yang terjadi di Palestina.

 

Kebijakan perampasan tanah, blokade, pembunuhan, dan pengusiran yang dilakukan Israel hari ini adalah bagian dari DNA proyek politik Zionis yang sejak awal bertujuan untuk mendirikan negara etno-nasionalis dengan mengorbankan keberadaan bangsa Palestina. 


Akar konflik ini adalah kunci untuk memahami permasalahan ini bukanlah sengketa antara dua pihak yang setara, melainkan perjuangan antara penjajah dan yang terjajah.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang