New York, NU Online
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan untuk dilakukan penyelidikan setelah 16 orang tewas saat melakukan unjuk rasa di perbatasan Gaza-Israel pada Jumat (30/3). Sementara, ratusan orang lainnya terluka dalam aksi tersebut.
“Guterres ingin penyelidikan independen dan transparan soal kekerasan,” kata juru bicara Guterres Farhan Haq dilaporkan The Guardian, Sabtu (31/3).
Haq menyebutkan, Guterres menghimbau agar kedua belah pihak menahan diri agar tidak menimbulkan korban lebih banyak.
Wakil Kepala Urusan Politik PBB Taye-Brook Zerihoun mengatakan, situasi di Gaza akan semakin memburuk dalam beberapa hari mendatang. Ia menyerukan agar warga sipil, terutama anak-anak, tidak menjadi sasaran tentara Israel.
“Israel harus mempertanggungjawabkan aksinya itu kepada hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional,” katanya dikutip Reuters.
Di sisi lain, Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengaku sangat kecewa karena PBB tidak bersatu untuk mengutuk dan menghentikan tindakan brutal pasukan keamanan Israel. Ia menyebut Israel telah melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang sedang menggelar aksi protes.
“Palestina mengharapkan Dewan Keamanan untuk memikul tanggung jawabnya dan meredakan situasi yang bergejolak ini, yang jelas merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional,” katanya.
Jumat malam, PBB menggelar rapat darurat guna membahas situasi yang terjadi di perbatasan Gaza-Israel. Dalam sebuah keterangan tertulis sebelum PBB menggelar rapat, Duta besar Israel untuk PBB Danny Danon menyalahkan Hamas, kelompok militan yang menguasai Jalur Gaza, atas pertumpahan darah yang terjadi di wilayah perbatasan itu.
Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menuding pemerintah Israel harus bertanggung jawab penuh atas peristiwa mematikan tersebut.
Direncanakan warga Palestina melaksanakan demonstrasi selama enam pekan, dimulai Jumar kemarin hingga tanggal 15 Mei nanti. Bertepatan dengan hari Nakba atau Bencana, sebuah hari yang menandai perpindahan ratusan ribu orang Palestina dalam konflik pembentukan negara Israel 70 tahun lalu.
Mereka menuntut agar para pengungsi Palestina diberikan haknya kembali untuk ke kota-kota dan desa-desa dimana keluarga mereka melarikan diri ketika negara Israel diciptakan pada tahun 1948 silam. (Red: Muchlishon)