Bahaya Akut Zat Kimia Beracun yang Kedaluwarsa Menurut Ibnu Sina
Kamis, 20 Oktober 2022 | 18:00 WIB
Yuhansyah Nurfauzi
Kolomnis
Zat kimia di sekitar manusia bisa berupa zat yang relatif aman seperti makanan atau minuman, obat, hingga material beracun serta berbahaya. Semua bahan kimia tersebut memiliki keunikan sehingga akan mempengaruhi waktu kedaluarsanya. Karakteristik atau sifat kimia dan sifat fisika suatu zat akan menentukan perubahan yang dialami seiring dengan waktu penyimpanan dan kondisi lingkungan.
Perbedaan antara obat dengan racun sangatlah tipis. Di tangan ahlinya, racun bisa menjadi obat dan sebaliknya. Perbedaan di antara keduanya ditentukan oleh dosis atau takarannya. Di sisi lain, sifat bawaan alami suatu bahan bisa menentukan kecenderungan sifat obat atau sifat racunnya. Selain itu, pengaruh pengolahan bahan dan interaksinya dengan faktor lingkungan juga akan mempengaruhi perubahan sifat kimia dan fisika suatu bahan.
Apabila berbagai bahan telah dikenali kecenderungan sifatnya, apakah ada perbedaan masa simpan antara bahan obat dan bahan beracun yang berbahaya? Apakah obat yang kedaluarsa akan mengalami hal yang sama dengan racun yang kedaluarsa? Bagaimana pula efek yang akan ditimbulkan dari perubahan keduanya?
Ada seorang ilmuwan muslim yang terkenal di bidang pengobatan klasik ternyata pernah membahas waktu kedaluarsa bahan kimia, yaitu Ibnu Sina. Selain ilmu kedokteran, Ibnu Sina menguasai pengetahuan tentang karakter zat-zat kimia. Berbagai bahan obat hingga bahan beracun dibahas dalam karya monumentalnya yaitu kitab Al-Qanun fit-Thibb. Dengan detail Beliau mendeskripsikan berbagai herbal yang bisa digunakan untuk obat maupun herbal yang memiliki sifat racun beserta masa simpannya.
Ibnu Sina mengungkapkan contoh herbal beracun yang dibandingkan dengan bahan herbal lain di dalam kitabnya. Tanaman Mawar Natal atau Christmas Rose yang dikenal sebagai Hellebore disebutkan secara khusus memiliki keunikan berikut ini:
“Kekuatan herbal melemah setelah tiga tahun. Namun, beberapa obat dikecualikan dari (aturan) ini, misalnya dua Hellebore (hitam dan putih) yang mempertahankan kekuatannya lebih lama.” (Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina, Al-Qanun fit-Thibb Book II, Jamia Hamdard, New Delhi, 1998: halaman 29)
Herbal yang sifatnya cenderung sebagai obat memiliki waktu kedaluarsa tiga tahun. Artinya setelah 3 tahun, kekuatannya melemah karena kadar zat yang berkhasiat berkurang selama penyimpanannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan konsep kedaluarsa obat. Namun, herbal yang sifatnya cenderung beracun ternyata dapat mempertahankan kekuatannya lebih lama.
Ibnu Sina tidak membahas kapan kekuatan racun di dalam Hellebore akan berkurang. Beliau hanya menyebutkan bahwa racun dapat bertahan lebih lama dalam Hellebore yang berbahaya sehingga dikeluarkan dari kebiasaan waktu kedaluarsa obat.
Hellebore merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai obat, tetapi lebih dikenal memiliki sifat alamiah beracun. Dalam bahasa Arab, Hellebore putih disebut sebagai Kharbaq Abyad, sedangkan yang hitam disebut Kharbaq Aswad. Keduanya beracun, tetapi yang putih lebih kuat sifat racunnya. Oleh karena itu, penggunaannya dilarang kecuali terpaksa dan harus disertai dengan upaya ekstra untuk menangkal sifat racunnya.
Ibnu Sina menjelaskan bahwa efek racun Hellebore dapat menyebabkan mati lemas dan membuat radang tenggorokan pada manusia dan bisa menjadi racun tikus yang mematikan. Penggunaan Hellebore putih yang berlebihan dapat berakibat fatal bagi manusia, beracun bagi anjing dan babi. Bahkan, apabila ada ayam betina yang memakan kotoran manusia yang mengonsumsi Hellebore jenis ini, maka ayam betina itu mati. (Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina, Al-Qanun fit-Thibb Book II, Jamia Hamdard, New Delhi, 1998: halaman 187)
Matinya ayam betina itu menunjukkan bahwa racun Hellebore yang telah diproses dan dirusak di dalam tubuh manusia masih bisa menimbulkan bahaya pada makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan penelitian Ganesan dan timnya, Hellebore pernah digunakan sebagai senjata kimia dalam sejarah peperangan umat manusia.
“Agen psikomimetik digunakan untuk pertama kalinya sebagai agen melumpuhkan selama masa perang pada 600 SM, ketika tentara Solon melemparkan akar Hellebore ke sungai yang memasok air ke pasukan musuh, yang kemudian menimbulkan diare.” (Ganesan, Raza, dan Vijayaraghavan, Chemical Warfare Agents, Journal of Pharmacy & BioAllied Sciences, Vol.2 No.3, 2010: 166-178)
Berdasarkan efek racunnya, akar tanaman Hellebore merupakan bagian yang paling beracun. Meskipun kadarnya mengecil karena terencerkan oleh debit air sungai yang mengalir, sifat racunnya masih ada. Hal ini menjadi bukti bahwa reaksi bahan beracun dengan air tidak merusak potensi bahaya dari Hellebore.
Ibnu Sina adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep waktu kedaluarsa zat kimia dalam bahan campuran. Dalam salah satu jurnal yang ditulis oleh peneliti dari Uzbekistan, terungkap bahwa Ibnu Sina megeluarkan teori atau doktrin perubahan kimia suatu bahan obat yang disebabkan oleh berbagai hal.
“Menurut Ibnu Sina, obat terbaik adalah obat yang baru disiapkan. Pasalnya, seiring berjalannya waktu, khasiat obat dari obat tersebut semakin berkurang. Atas dasar ini, tanggal kedaluarsa obat-obatan saat ini ditentukan dan diresepkan. Umur simpan produk obat berubah di bawah pengaruh faktor cahaya, panas, oksigen udara, interaksi bahan obat, berdasarkan perubahan struktur molekul dan efek terapi. Menurut doktrin ini, komposisi bahan kimia berubah di bawah pengaruh faktor-faktor yang menjadi dasar penentuan umur simpan atau waktu kedaluarsanya.” (Abdijamilovna, Alchemy and The Teachings of Ibn Sina, Eouropean Journal of Research and Reflection in Educational Sciences, Vol.8 No.4, 2020: 79-81)
Teori Ibnu Sina tentang waktu kedaluarsa saat ini telah terbukti kebenarannya untuk obat. Obat digunakan dengan harapan efek yang positif terhadap kesehatan, yaitu menyembuhkan penyakit. Apabila zat kimia yang berefek positif ini berkurang kadarnya karena kedaluarsa, khasiatnya juga akan berkurang. Namun, di sisi lain muncul resiko apabila zat di dalamnya rusak karena pengaruh lingkungan dan menimbulkan zat beracun.
Adapun bahan kimia yang beracun memiliki potensi bahaya yang lebih lama sehingga dikecualikan dari ketentuan kedaluarsa obat oleh Ibnu Sina. Kemungkinan berkurangnya kadar racun bisa tertutup oleh resiko lain karena adanya perubahan kimiawi mengarah pada terbentuknya zat lain yang sama bahayanya dengan zat semula sebagaimana Hellebore.
Apalagi, bila perubahan kimiawi suatu zat racun karena faktor lingkungan mengarah pada terbentuknya bahan lain yang lebih berbahaya, maka potensi bahayanya tetap ada dan bertahan lama. Jenis bahan beracun yang berbahaya akan mengalami perubahan yang berbeda-beda meskipun kadarnya berkurang. Berbagai kemungkinan ini perlu diteliti agar terungkap perubahan kimiawi yang sebenarnya terjadi pada suatu bahan beracun dan berbahaya. Wallahu ‘alam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi.
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua