Bencana Berlarut, Psikolog Ingatkan Ancaman Gangguan Kecemasan pada Penyintas
NU Online · Senin, 15 Desember 2025 | 07:00 WIB
Ayu Lestari
Kontributor
Garoga, NU Online
Bencana banjir bandang dan tanah longsor masih membayangi sejumlah wilayah terdampak di Sumatra. Curah hujan yang tinggi serta debit air yang belum sepenuhnya surut membuat warga, khususnya para penyintas, terus berada dalam situasi penuh ketidakpastian. Salah satu wilayah yang masih terdampak cukup parah adalah Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanulis Selatan, Sumatra Utara.
Fadhillah Putri Marbun, salah seorang penyintas, kehilangan rumah dan ayahnya akibat terseret arus banjir bandang. Rumah yang ditinggalinya kini nyaris tak bersisa.
“Kondisi rumah saya sudah tidak ada lagi, hanya tinggal lantai. Hampir 99 persen rumah di Desa Garoga hanyut,” ujar Fadhillah kepada NU Online, Sabtu (13/12/2025).
Kehilangan tempat tinggal dan anggota keluarga dalam waktu bersamaan tak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga sangat memengaruhi kondisi psikologis penyintas. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat menimbulkan gangguan kecemasan yang berkepanjangan.
Psikolog Klinis asal Yogyakarta, Adhe Vrilia, menjelaskan bahwa kecemasan atau anxiety pada korban bencana muncul ketika pikiran dan tubuh masih merasa terancam, meskipun peristiwa utama telah berlalu.
“Korban sering merasa takut, gelisah, atau waspada berlebihan karena otak masih mengingat pengalaman berbahaya yang baru saja terjadi. Respons cemas ini sebenarnya wajar, tetapi perlu diwaspadai jika berlangsung terlalu lama,” jelas Adhe kepada NU Online, Ahad (14/12/2025).
Menurutnya, bencana datang secara tiba-tiba, di luar kendali, dan tanpa peringatan yang cukup. Kondisi tersebut membuat rasa aman yang biasanya dimiliki seseorang hilang dalam waktu singkat.
“Kecemasan adalah reaksi normal setelah peristiwa yang mengancam nyawa, melihat hal-hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, serta mengalami kerugian besar,” ujarnya.
Membedakan Stres Akut, Anxiety, dan PTSD
Adhe menekankan pentingnya memahami perbedaan antara stres akut, gangguan kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD), agar korban tidak melakukan self-diagnosis yang keliru.
“Stres akut biasanya muncul segera setelah kejadian dan bersifat sementara. Anxiety muncul ketika rasa takut dan kewaspadaan menetap lebih lama. Sedangkan PTSD merupakan kondisi yang lebih kompleks dan baru dapat dipertimbangkan jika gejala menetap setidaknya satu bulan,” terangnya.
PTSD ditandai dengan kilas balik kejadian, mimpi buruk, penghindaran terhadap hal-hal yang mengingatkan pada bencana, serta kesulitan mengelola emosi dalam jangka panjang.
Ia menambahkan bahwa kecemasan pada korban bencana sering dipicu oleh pengalaman langsung saat kejadian, seperti menyaksikan arus deras, rumah hanyut, korban terjebak, hingga kehilangan orang terdekat.
“Ditambah lagi dengan ketidakpastian masa depan, kondisi pengungsian yang tidak stabil, serta paparan cerita dan berita menakutkan yang berulang,” katanya.
Teknik Sederhana Meredakan Kecemasan Pascabencana
Untuk membantu meredakan kecemasan, Adhe menyarankan teknik-teknik sederhana yang mudah dipraktikkan di lokasi pengungsian.
“Latihan pernapasan bisa membantu tubuh keluar dari mode siaga berlebihan. Teknik grounding juga efektif, misalnya dengan melibatkan pancaindra seperti merasakan sentuhan atau suhu di sekitar,” jelasnya.
Selain itu, teknik regulasi tubuh seperti TIPP (Temperature, Intense exercise, Paced breathing, Paired muscle relaxation) dapat membantu menurunkan respons cemas dengan menstabilkan kondisi fisik terlebih dahulu.
“Yang paling penting, korban perlu diyakinkan bahwa rasa takut dan gelisah yang mereka alami adalah respons wajar setelah peristiwa ekstrem,” tegasnya.
Pentingnya Psychological First Aid bagi Penyintas
Senada dengan itu, Psikolog Klinis Universitas Potensi Utama Medan, Fadhilla Fajrah, menekankan pentingnya penerapan Psychological First Aid (PFA) bagi korban bencana.
“PFA dikenal dengan prinsip 3L, yaitu Look, Listen, dan Link. Mengenali kebutuhan korban, mendengarkan dengan empati, serta menghubungkan korban dengan dukungan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Menurut Fadhilla, PFA merupakan pertolongan pertama bagi kondisi psikologis, sebagaimana P3K bagi luka fisik.
“Bencana membuat individu kehilangan rasa aman, kontrol, dan kepastian. PFA membantu korban merasa aman kembali, didengar, dan tidak sendirian,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan. Pada anak, gangguan rutinitas dapat memicu rasa takut berlebih, sementara pada lansia sering muncul kecemasan akibat keterbatasan fisik dan rasa kehilangan.
“Tanda kecemasan bisa muncul secara emosional, perilaku, maupun fisik, seperti mudah panik, sulit tidur, mimpi buruk, jantung berdebar, hingga sesak napas,” katanya.
Fadhilla menegaskan bahwa peran psikolog tidak selalu untuk mengobati, tetapi menjaga kesehatan mental dan mencegah gangguan yang lebih berat.
“Pencegahan bisa dilakukan dengan memperkuat dukungan keluarga dan komunitas relawan, menjaga rutinitas di posko, serta memberikan edukasi kesiapsiagaan bencana,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Bedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir: Dari Kewajiban Taat AD/ART hingga Pentingnya Bukti Konkret
2
Kelompok Sultan Tunjuk M Nuh sebagai Katib Aam PBNU
3
PBNU Kelompok Sultan Targetkan Percepatan Muktamar dan Gelar Harlah 1 Abad NU
4
Kelompok Sultan Gelar Rapat Harian Syuriyah-Tanfidziyah di Gedung PBNU
5
Gus Yahya Dorong Islah Demi Keutuhan Jamiyah, Serukan Warga NU Tetap Jaga Persatuan
6
Kabar Duka: Prof Ahmad Syafiq, Pengurus Lembaga Kesehatan PBNU Wafat
Terkini
Lihat Semua