70 Tahun Sarbumusi, F-Buminu: Buruh Migran Harus Berbudaya dan Berdaya
NU Online · Rabu, 24 September 2025 | 13:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Peringatan Harlah ke-70 Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali posisi buruh migran dalam tubuh organisasi.
Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara (F-Buminu) Sarbumusi Ali Nurdin menegaskan bahwa Sarbumusi tidak hanya menjadi rumah besar bagi buruh Indonesia, tetapi juga pelindung dan penggerak bagi jutaan pekerja migran yang tersebar di berbagai negara.
Menurutnya, buruh migran menghadapi realitas ganda. Di satu sisi mereka disebut pahlawan devisa dengan sumbangan remitansi mencapai lebih dari Rp230 triliun per tahun. Namun di sisi lain, mereka masih rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan ketidakpastian hukum.
“Banyak buruh migran bekerja di sektor domestik dan informal, dengan perlindungan kerja yang minim. Kasus pemotongan gaji sepihak, penyiksaan, hingga hilangnya hak dasar masih sering terjadi,” ungkap Ali Nurdin kepada NU Online Rabu (24/9/2025).
Ia menambahkan, problem birokrasi dan tata kelola penempatan tenaga kerja yang lemah juga kerap menjerat buruh migran dalam rantai panjang perizinan dan pungutan liar.
Dalam situasi tersebut, Sarbumusi dituntut untuk memperluas makna perlindungan. Ali Nurdin menekankan, perlindungan bukan hanya soal advokasi hukum, tetapi juga pemberdayaan, solidaritas, dan pendidikan politik.
“Harapan buruh migran bukan sekadar mendapat perlindungan saat bermasalah, tetapi juga jaminan masa depan ketika kembali ke tanah air,” ujarnya.
Ia menyebut, program pelatihan, koperasi, dan integrasi ekonomi desa menjadi jalan agar buruh migran kembali dengan bekal keterampilan dan kemandirian.
Ali menegaskan bahwa buruh migran tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai sumber remitansi. Mereka harus ditempatkan sebagai subjek dalam perumusan kebijakan pembangunan nasional.
Tema Harlah ke-70 Sarbumusi, “Berbudaya, Berdaya”, disebut Ali menemukan relevansi nyata dalam konteks buruh migran.
“Berbudaya artinya buruh migran membawa identitas bangsa di kancah global. Mereka tidak hanya bekerja, tapi juga menjadi duta budaya,” jelasnya. Menurut dia, etos kerja, kejujuran, dan solidaritas merupakan nilai budaya yang harus terus dipertahankan.
Sementara itu, berdaya dimaknai sebagai kemampuan buruh migran untuk memahami hak-haknya, mengorganisir diri, dan memperjuangkan kepentingan kolektif.
"Buruh migran yang berdaya adalah mereka yang mampu mengendalikan nasib sendiri," tegas Ali.
Data BP2MI 2024 mencatat ada sekitar 4,5 juta buruh migran Indonesia bekerja di luar negeri, mayoritas di sektor domestik. Bagi Ali, angka tersebut menunjukkan skala besar persoalan yang harus dihadapi sekaligus peluang untuk memperkuat literasi hukum, ekonomi, dan digital di kalangan pekerja migran.
Ali optimistis ke depan buruh migran akan menjadi elemen strategis pembangunan nasional. Dunia kerja global memang semakin terbuka, tetapi hanya pekerja yang berdaya yang mampu bertahan.
“Buruh migran Indonesia harus naik kelas. Tidak hanya sebagai tenaga kerja murah, tetapi juga sebagai pekerja terampil yang mampu bersaing di pasar internasional,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
2
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
KH Said Aqil Siroj Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang kepada Pemerintah
Terkini
Lihat Semua