Akademisi: Impunitas dan Manipulasi Memori Kolektif Masih Bekerja dalam Kesadaran Bangsa Indonesia
NU Online · Senin, 10 November 2025 | 23:15 WIB
Pengajar Filsafat Universitas Pelita Harapan (UPH) Alexander Aurelius dalam Kuliah Terbuka bertajuk Etika Memori dan Impunitas Sejarah di Ruang dan Tempo yang diselenggarakan di Gedung Tempo, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada Senin (10/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pengajar Filsafat Universitas Pelita Harapan (UPH) Alexander Aurelius menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, telah menunjukkan betapa impunitas sejarah dan manipulasi memori kolektif terus bekerja dalam kesadaran bangsa Indonesia.
Ia menyebut bahwa bangsa ini belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya yang sarat luka akibat berbagai tragedi kemanusiaan.
Hal itu disampaikan Alex dalam Kuliah Terbuka bertajuk Etika Memori dan Impunitas Sejarah di Ruang dan Tempo yang diselenggarakan di Gedung Tempo, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada Senin (10/11/2025).
Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk merefleksikan hubungan antara ingatan kolektif, pelanggaran HAM, dan tanggung jawab etis warga negara terhadap sejarah kelam bangsa.
Menurutnya, pembahasan tentang etika memori menjadi penting karena bangsa Indonesia masih memikul beban masa lalu yang dipenuhi kekerasan dan pelanggaran HAM, baik pada masa Orde Baru maupun setelah Reformasi.
“Sepanjang Orde Baru berkuasa, persoalan kemanusiaan dan tragedi pelanggaran HAM seolah menjadi agenda politik yang terus berulang. Pasca-Reformasi pun, kekerasan terhadap masyarakat sipil dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat masih terus terjadi,” ujarnya.
Ia mencontohkan sejumlah tragedi yang menjadi bagian dari ingatan traumatik bangsa, salah satunya penembakan misterius (Petrus) pada 1980-an. Dalam kisah yang ia sampaikan, seorang sopir angkot di Palembang setiap hari menyaksikan korban Petrus mengambang di sungai.
“Peristiwa itu menjadi ingatan nyata bagi masyarakat biasa, bukan hanya bagi para korban langsung. Itu bukti bahwa memori kekerasan hidup di tengah rakyat,” katanya.
Alexander menegaskan bahwa tragedi kemanusiaan tidak berhenti di masa lalu. Dalam era pembangunan dan modernisasi, kekerasan serta pengingkaran terhadap keadilan justru menemukan bentuk baru melalui kebijakan politik dan ekonomi yang mengorbankan rakyat, terutama masyarakat adat.
“Kita berjalan bersama tragedi. Republik ini terus memanggul beban masa lalu dan masa kini yang sama-sama menyakitkan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti fenomena stigmatisasi ideologis, termasuk penggunaan label PKI terhadap siapa pun yang dianggap berbeda atau salah.
Menurutnya, praktik semacam ini merupakan bentuk manipulasi ingatan politik yang terus diwariskan sebagai budaya kekuasaan.
“Ingatan tentang tragedi masa lalu dimanfaatkan untuk membungkam kritik dan melegitimasi kekerasan baru,” tegasnya.
Alexander juga menguraikan pentingnya membangun etika memori, yakni cara mengingat yang berlandaskan kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab moral.
Ia mengutip pemikiran filsuf Jasna Kurkovic-Nimak, yang menegaskan bahwa konflik dan kekerasan sosial sering berakar pada cara manusia mengingat masa lalunya.
“Etika memori menuntut agar ingatan tidak menjadi alat kekerasan, melainkan sumber penyembuhan dan rekonsiliasi,” jelasnya.
Alexander juga mengutip pemikiran Paul Ricœur, yang membedakan tiga level memori yakni patologis (memori yang terblokir dan membutuhkan penyembuhan), praktikal (memori yang dimanipulasi untuk kekuasaan), dan etiko-politikal (memori yang dikontrol melalui narasi sejarah resmi).
Menurutnya, dua level terakhir menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia, karena sejarah resmi negara kerap menutup ruang bagi suara korban dan narasi alternatif.
“Memori kolektif kita sedang dikontrol untuk meneguhkan legitimasi kekuasaan. Dalam konteks hari ini, hal itu tampak dari bagaimana narasi keberhasilan pembangunan digunakan untuk menghapus ingatan akan kejahatan kemanusiaan masa lalu,” katanya.
Lebih jauh, Alexander menekankan bahwa mengingat adalah tindakan moral, bukan sekadar fungsi kognitif. Mengingat berarti bertindak untuk memulihkan relasi sosial dan menegakkan keadilan bagi korban.
“Kita wajib mengingat bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk memulihkan hubungan dan memastikan kekerasan yang sama tidak terulang,” tegasnya.
Dalam konteks itu, ia menyoroti tiga prinsip utama etika memori yaitu kebenaran, keteladanan, dan kebaikan bersama.
Prinsip kebenaran menuntut kejujuran dalam mengingat, terutama terhadap korban. Prinsip keteladanan membuka ruang bagi dialog dan koeksistensi, sedangkan prinsip kebaikan bersama menyeimbangkan antara kebenaran dan rekonsiliasi.
“Puncak dari etika memori adalah redeeming memory atau ingatan yang menebus luka dan mengubahnya menjadi sumber kebaikan,” paparnya.
Alexander juga mengutip pemikiran Miroslav Volf, yang menegaskan bahwa keselamatan tidak terletak pada ingatan itu sendiri, tetapi pada cara manusia memperlakukan ingatan tersebut, apakah dijadikan senjata dendam atau jembatan menuju pengampunan?
“Sejarah dan memori bukan sekadar tumpukan kenangan, tetapi ruang simbolik tempat rakyat belajar kesetiaan dan keterbukaan. Mengingat bukan hanya mengenang masa lalu, melainkan menunaikan tanggung jawab terhadap korban yang tak bersuara,” ujarnya.
“Melupakan berarti mengkhianati kebenaran dan martabat kemanusiaan,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua