Nasional

Akar Penyebab Banjir dan Longsor Sumatra: Deforestasi Masif dan Hilangnya Fungsi Hidrologis Kawasan Hulu

NU Online  ·  Senin, 1 Desember 2025 | 21:00 WIB

Akar Penyebab Banjir dan Longsor Sumatra: Deforestasi Masif dan Hilangnya Fungsi Hidrologis Kawasan Hulu

Bencana Sumatra. (Foto: dok istimewa/Syahrul Mubarak)

Jakarta, NU Online

Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menegaskan bahwa banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan bencana ekologis akibat kerusakan hutan yang sistematis.


"Kami melihat akar persoalannya jelas deforestasi masif dan hilangnya fungsi hidrologis kawasan hulu. Hutan seharusnya menjadi penyangga air kini berubah menjadi lahan terbuka akibat ekspansi industri ekstraktif, perkebunan besar, dan pembalakan liar,” ujar Direktur Eksekutif JPIK, Muhammad Ichwan kepada NU Online, Senin (1/12/2025).


Menurut Ichwan, hujan ekstrem langsung mengalir sebagai banjir bandang dan membawa lumpur, batu, serta kayu gelondongan. Banyak material kayu setelah banjir memperlihatkan bekas potongan mesin, bukan pohon tumbang alami.


"Ini mengindikasikan adanya operasi pembalakan di kawasan hulu, baik melalui izin legal seperti IUPHHK, HGU, IUP maupun aktivitas ilegal yang memanfaatkan celah perizinan. Bagi JPIK, ini bukti lemahnya tata kelola hutan dan pengawasan negara," tegasnya.


Ichwan menilai bencana ini bukan muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari kebijakan negara yang memberi ruang eksploitasi hutan. Pernyataan sejumlah kepala daerah mengenai dibukanya kembali izin penebangan hutan pada Oktober 2025 memperlihatkan kebijakan yang kontraproduktif.


"Izin baru di DAS kritis sama saja memperbesar bom waktu bencana," ujar Ichwan.


Temuan organisasi masyarakat sipil menunjukkan Sumatra penuh sesak oleh izin industri ekstraktif: 1.907 izin tambang minerba aktif (±2,45 juta hektare), 271 izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) yang menggerus kawasan lindung, pembangunan PLTA/PLTP yang membelah hutan pegunungan, serta ekspansi perkebunan dan HTI di kawasan tangkapan air.


"Tekanan ini membuat bentang pegunungan dan DAS semakin rapuh. Negara belum mampu menghentikan laju deforestasi yang justru ia fasilitasi melalui perizinan,” jelasnya.


JPIK Sumatra Utara juga menemukan bahwa skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) menjadi celah pencucian kayu ilegal. Sebagian kayu yang diklaim legal ternyata berasal dari luar areal PHAT. Temuan 13 PHAT bermasalah di Batang Toru menunjukkan lemahnya pengawasan jalur legalisasi kayu.


Sertifikasi Hutan Dinilai Tak Efektif

Ichwan menambahkan, sejumlah unit manajemen yang telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) maupun sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) tetap menghasilkan kerusakan serius.


"Sertifikat legalitas tidak boleh menjadi selimut untuk menutupi praktik destruktif," ujarnya.


Ia menyoroti banyaknya izin tambang, perkebunan, dan proyek energi yang beroperasi di lereng curam serta hulu DAS yang memiliki fungsi ekologis vital. "Ketika wilayah rentan ini dibuka, bencana seperti banjir bandang menjadi semakin tak terhindarkan.”


Pemerintah masih menetapkan status banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) sebagai bencana daerah tingkat provinsi serta belum memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai bencana nasional.


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra bertambah menjadi 604 orang. Penambahan jumlah korban jiwa tersebut diketahui berdasarkan data di situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB), Senin (1/12/2025), yang ter-update pada pukul 17.00 WIB.


"Sumatera Utara 283 jiwa, Sumatera Barat 165 jiwa dan Aceh 156 jiwa," tertulis data di situs Pusatin BNPB, dikutip Senin.

 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyampaikan lokasi tambang emas yang disebut-sebut menjadi penyebab bencana banjir bandang di Pulau Sumatera, jauh dari lokasi bencana.


"Katanya wilayah kerjanya jauh,” ujar Yuliot ketika ditemui setelah menghadiri rapat di Kantor Kementerian ESDM Jakarta dilansir Antara.


Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, kata Yuliot, akan terjun ke tiga provinsi terdampak bencana banjir dan longsor untuk mengecek berbagai permasalahan, seperti ketersediaan energi di wilayah yang terdampak oleh bencana banjir bandang dan longsor, serta lokasi pertambangan yang diperkirakan menjadi penyebab bencana banjir bandang.


"Ini dicek di lapangan, besok Pak Menteri akan lihat dari atas. Besok (Selasa)," kata Yuliot.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang