Jakarta, NU Online
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Kamis (13/12).
MK menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa "usia 16 (enam belas) tahun" pada UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Melihat hal tersebut, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susiana Afandi mengapresiasi keputusan MK tersebut. Ia menyatakan bahwa UU yang dimaksud di atas bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa definisi anak adalah mereka yang berusia sampai 18 tahun.
"Artinya di bawah usia 18 tahun merupakan anak yang harus dilindungi hak-haknya. Salah satu hak yang harus dilindungi adalah pencegahan pernikahan anak," katanya kepada NU Online pada Jumat (14/12).
Menurutnya, peningkatan usia perkawinan pada perempuan sangat penting untuk melindungi reproduksinya. Sebab, pernikahan anak beresiko pada permasalahan reproduksi perempuan sehingga pada lingkup nasional bisa berdampak rentannya angka kematian ibu baru melahirkan.
"Dengan adanya kenaikan usia perkawinan bagi perempuan sangat penting untuk peningkatan usia belajar anak perempuan. Kewajiban belajar 12 tahun dapat terealisasi," lanjut pengurus Pimpinan Pusat Muslimat NU itu.
Anak-anak, katanya, harus dibekali dengan ilmu dan keterampilan yang memadai guna menjalani hidup dengan lebih baik. Khususnya keterampilan melalui kehidupan rumah tangga.
Lebih dari itu, hal terpenting dari semuanya adalah edukasi terhadap masyarakat bahwa pilar utama perlindungan anak adalah keluarga. Karenanya, pola pengasuhan anak harus ditingkatkan untuk menumbuhkan kembangkan anak menjadi insan sehat, cerdas dan beriman, dan bertakwa. (Syakir NF/Muiz)