Nasional

Beda Pandangan Ulama tentang Shalat Kafarat di Jumat Akhir Ramadhan

Jumat, 28 Maret 2025 | 06:00 WIB

Beda Pandangan Ulama tentang Shalat Kafarat di Jumat Akhir Ramadhan

Ilustrasi shalat kafarat Jumat akhir Ramadhan. (Foto: NU Online/Mahbib)

Jakarta, NU Online 

Jumat terakhir Ramadhan menjadi perbincangan di kalangan umat Islam, khususnya mengenai shalat kafarat. Shalat ini dilakukan dengan jumlah rakaat shalat fardhu dalam sehari, yaitu 17 rakaat. 


Ustadz Mubassyarum Bih menjelaskan bahwa shalat kafarat dilakukan dengan niat mengqadha shalat fardhu yang tidak sah atau diragukan ditinggalkan. Bahkan, ada yang meyakini tradisi menjalani shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan bisa mengganti shalat yang ditinggalkan semasa hidup sampai 70 tahun, serta bisa melengkapi berbagai kekurangan dalam shalat yang dilakukan karena waswas.

 
Hal ini sebagaimana ia jelaskan dalam artikelnya berjudul 'Hukum Shalat Kafarat di Jumat Akhir Ramadhan​​​​​​' yang dikutip pada Jumat (27/3/2025).


Ulama berbeda pandangan mengenai hal tersebut, ada yang melarangnya, tetapi ada juga yang membolehkannya. Masing-masing memiliki dasar dan referensi yang menjadi basis argumentasinya.


Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Barat itu Ustadz Mohammad Mubasysyarum Bih menyebutkan pandangan para ulama yang berbeda mengenai tradisi shalat kafarat ini.


Shalat kafarat haram

Keharaman shalat kafarat menurut para ulama karena ketiadaan tuntunan yang jelas dari hadits Nabi Muhammad saw. Karenanya, kebolehan melaksanakan shalat kafarat tergolong sebagai upaya mensyariatkan ibadah yang tidak disyariatkan atau melakukan ibadah yang rusak. Pasalnya, pengkhususan waktu pelaksanaan shalat kafarat pada akhir Jumat bulan Ramadhan tidak memiliki dasar yang jelas dalam syariat.


Bahkan Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj berpandangan bahwa shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan adalah haram, bahkan kufur.


"Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa shalat 5 waktu di Jumat ini (Jumat akhir Ramadhan) selepas menjalankan shalat Jumat, mereka meyakini shalat tersebut dapat melebur dosa shalat-shalat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar," tulis Ustadz Mubassyarum Bih mengutip pandangan Ibnu Hajar Al-Haitami.


Memperkuat pernyataan tersebut, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah menyebut bahwa shalat kafarat menyalahi seluruh mazhab.


Ustadz Mubassyarum Bih menegaskan bahwa para ulama berpandangan bahwa hadits tentang shalat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.


Shalat kafarat boleh

Adapun ulama yang membolehkan shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan adalah Al-Qadli Husain yang pandangannnya tersebut ditulis oleh Syekh Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal.


"Al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah. Saya mendengar bahwa sebagian ashab-nya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh shalat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faedah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.” 


Sementara itu, Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf mengatakan bahwa keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah.


Para ulama berpandangan dengan pertimbangan bahwa tidak ada orang yang meyakini keabsahan shalat yang baru saja ia kerjakan, terlebih shalat yang dulu-dulu.


Larangan shalat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran shalat tersebut cukup untuk mengganti shalat yang ditinggalkan selama setahun, tetapi para ulama berpandangan saat kekhawatiran itu hilang maka hukum haram hilang.


Mengikuti amaliyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya. 


Sebagaimana diketahui para ulama besar di Yaman mengimbau pelaksanaan shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan. Bahkan shalat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah di masjid Zabid Yaman.


Oleh karena itu, mengikuti amaliyah para wali dan ulama ahli makrifat tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi sudah cukup sebagai dalil kebolehan shalat kafarat ini. Hal ini sebagaimana pandangan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin yang dikutip di dalam Kasyf al-Khafa’.


"Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syariat, mereka menghadap hatinya kepada Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi yang demikian ini khusus untuk para pembesar sufi," demikian penjelasan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani.


Ustadz Mubasysyarum Bih menegaskan bahwa shalat kafarat yang diyakini sebagai pengganti shalat fardhu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan. Pasalnya, berdasarkan pandangan mufakat para ulama, kewajiban bagi orang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu per satu. Sementara shalat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi saja.