Nasional

Berlebih-lebihan terhadap Ajaran Agama Jadi Hambatan Perjuangan Umat Islam

Jumat, 28 Februari 2020 | 08:00 WIB

Berlebih-lebihan terhadap Ajaran Agama Jadi Hambatan Perjuangan Umat Islam

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Hj Huzaimah Tahido Yango. (Foto: iiq.ac.id)

Pangkal Pinang, NU Online
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Hj Huzaimah Tahido Yango menjelaskan bahwa dalam perjuangan umat Islam tentu tidak luput dari tantangan dan hambatan. Hal ini disebabkan di antaranya adanya praktik al-ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam tekstualisme dan rasionalisme terhadap ajaran agama. 
 
"Tekstualisme dalam memahami ajaran agama menyebabkan Islam berpikir sempit dalam memaknai ajaran Islam sehingga menjadi stagnan, phobia kemajuan dan perubahan serta tertinggal derap zaman," jelasnya saat memaparkan materi di depan peserta Kongres Umat Islam Indonesia Ke-7 yang diselenggarakan di Hotel Novotel, Bangka Belitung, Jumat (28/2).
 
Paham seperti inilah yang telah dipolitisasi, dikapitalisasi, dan dideologisasi yang bukan hanya oleh oknum umat Islam, tetapi juga oleh oknum lainnya yang menjadikan aksi ekstrimisme dan terorisme.
 
Berlebih-lebihan terhadap ajaran agama, lanjutnya, dilarang keras oleh Allah Swt sebagaimana disebutkan dalam 2 ayat Al-Quran. Yang pertama dalam QS. al-Nisa: 171 yang artinya : Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. 
 
Yang ke dua termaktub dalam QS. Al-Maidah: 77 yang artinya: “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus"
 
At-Thabari, timpalnya, menafsirkan kedua ayat tersebut dengan jangan melampaui batas yang hak agar tidak menjadi sesuatu yang batil.
 
"Kedua ayat tersebut meskipun berkenaan dengan ahlul kitab, tetapi ayat-ayat ini merupakan peringatan kepada umat agar tidak berlebih-lebihan dalam ajaran agama agar terhindar dari sebab-sebab yang membawa kebinasaan seperti yang terjadi pada umat-umat sebelumnya," tegas wanita yang juga Dewan Pakar PP Muslimat NU ini.
 
Di satu sisi liberalism rasional juga membuat agama kehilangan sakralitas dan otoritasnya sebagai manivestasi otoritas Tuhan di atas peradaban manusia. Liberalisme telah mensimplifikasi (tasahul) dalam beragama yang mengakibatkan hilangnya rahasia-rahasia agung agama yang tak terbatas. 
 
"Padahal kecenderungan peradaban post-modern saat ini, nyata mengarah kepada pencarian kembali dimensi agama maupun spiritual yang telah dihilangkan oleh pemahaman rasional dan bertumpu kepada kekuatan akal," katanya.
 
Ia mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini muncul fenomena “Fikih Prasmanan” yang semakin mendegradasi kualitas pemahaman agama karena menundukkan nalar sahih teks agama menjadi di bawah kuasa hawa nafsu interes pembacanya. 
 
"“Fiqih prasmanan” adalah kecenderungan seseorang untuk sesuka hati memilih dalil-dalil agama untuk melegitimasi hawa nafsu pemahaman agamanya tanpa berdasarkan pertimbangan kualitas metode, konteks, dan harmoni kehidupan beragama. Yang penting baginya, kalau nash bertentangan dengan akal, atau menurutnya bertentangan dengan mashlahah, maka nash boleh ditinggalkan. Menurutnya, nash boleh ditinggalkan karena menurutnya tidak sesuai dengan akal atau mashlahat," pungkasnya.
 
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin