Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Ketakutan pada matematika kerap kali berimplikasi pada sains. Padahal, tidak semua ilmu tentang semesta itu dijelaskan atau didekati melalui pengetahuan matematika yang mendalam. Sains perlu didekatkan dengan agama melalui penyampaian yang mendasar tanpa detail yang amat rinci.
Peneliti di Fakultas Teknik, Universitas Nottingham, Inggris Taufiq Widjanarko menyampaikan bahwa cara yang paling mudah mengakrabkan pelajar dan santri dengan dunia sains adalah dengan melakukan eksperimen-eksperimen sederhana di alam sekitar tanpa melibatkan matematika. Sebagai contoh, penggunaan lensa untuk membakar kertas.
“Lensa mampu memfokuskan sinar matahari sehingga energinya terkonsentrasi ke satu titik fokus dan cukup kuat untuk membakar kertas,” ujar ahli interferometri dan holografi itu kepada NU Online baru-baru ini.
Dengan begitu, lanjutnya, mereka bisa melihat sendiri, mengalami sendiri, dan mengamati sendiri secara langsung alam ini. Hal itu dilakukan tanpa perlu melibatkan matematika yang membuat mempelajari alam menjadi ilmu yang menakutkan untuk dipelajari. Eksperimen sederhana itu akan lebih melekat dan diingat dibanding harus menghafalkan rumus dan matematikanya.
Universitas-universitas ternama dalam inovasi teknologi seperti Massasuchets Institute Technology (MIT) dan Stanford di Amerika Serikat, atau Imperial College di Inggris terkenal membebaskan mahasiswanya untuk sesuka hati ‘mengulik-ulik’, mencoba-coba, bereksperimen sendiri di laboratorium, bengkel, workshop yang disediakan kampus hampir tanpa batas.
Sebab, jelasnya, mereka sadar mengerjakan dan mengalami sesuatu oleh dirinya sendiri akan jauh lebih dipahami dan dimengerti dibanding hanya sekedar hadir di kelas, mendengarkan pelajaran atau kuliah, membaca buku lalu menghafalkannya agar lulus ujian.
Jika kemudian anak didik menjadi tertarik dengan sains dari pengalamannya tersebut dan ingin mendalami lebih lanjut, ia bakal berupaya melakukan eksperimen lanjutan. Dia bisa mencari bahan-bahan pelajaran dan tutorialnya di luar, misalnya di internet, jika di lembaga pendidikannya tidak menyediakan.
Guru semakin hari bukan lagi jadi sumber ilmu utama, karena informasi bisa diperoleh di mana-mana. Namun, kehadirannya tetap penting sebagai pemandu dan teladan yang dapat mengarahkan anak didik ke mana arah pencarian informasi, serta arah dalam proses untuk membangun pengetahuannya.
Sekolah atau pondok pesantren dengan demikian lebih mudah menyediakan fasilitas ini dan anak didik bisa bermain, bereksperimen sendiri. Anak didik bisa diberi tantangan sehingga mereka mencari ide untuk menyelesaikan problem dan ini bisa dilakukan tanpa harus melibatkan matematika yang rumit yang ‘menakutkan’.
“Diharapkan langkah ini bisa membuat santri lebih menghayati bahwa akhirnya tidak ada ilmu yang terpisah-pisah, terkotak-kotak karena memang semuanya dari satu sumber, dari ijin Gusti Allah swt. Itupun sangat terbatas sehingga harus kita manfaatkan sebaik mungkin dengan keterbatasan ini,” jelas Ketua Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Inggris.
Langkah untuk mendekatkan sains dan teknologi ini, menurutnya, tidak bisa selesai dalam waktu pendek hanya satu sampai tahunan, tetapi memerlukan proses panjang.
Sebab, hal itu akan mengubah pola pikir, perencanaan pendidikan (kurikulum), dan yang lebih mendasar lagi ialah perubahan budaya dan kultur mengingat pendekatan ini akan menghasilkan pergeseran pemikiran tentang apa yang biasa secara terbatas kita sebut sebagai ilmu agama.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua