Mataram, NU Online
Salah satu program pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi masyarakat adalah distribusi lahan. Inti dari program ini adalah untuk terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia terutama dalam penguasaan dan kepemilikan tanah. Isu ini lalu menjadi buah bibir di masyarakat. Bukan masyarakat tidak setuju dengan kebijakan distribusi lahan, namun yang menjadi persoalan adalah konsep dasar dan mekanisme pendistribusian lahan.
Hal ini menjadi salah satu bahasan Komisi Bahtsul Masail Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2017 di Mataram, Jumat (24/11).
“Karena sudah dicanangkan, maka usulan komisi adalah agar presiden membuat payung hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum,” kata Pimpinan Komisi Qonuniyyah atau Perundang-Undangan Zaini Rahman di Pesantren Darul Falah.
Ia menjelaskan, usulan-usulan dari para peserta musyawarah akan dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pertanahan. Ada beberapa poin yang menjadi titik tekan dalam Rancangan Undang-Undang Distribusi Lahan untuk Kesejahteraan Rakyat. Pertama, negara harus tegas dalam hal pembatasan kepemilikan dan penggarapan lahan. Baginya, tanah itu adalah milik negara dan seharusnya difungsikan untuk memakmurkan rakyat.
“Kedua, proses dan skema distribusi lahan harus transparan. Dan yang ketika, harus jelas siapa yang menjadi penerimanya,” jelasnya.
Selain itu, komisi juga mengusulkan agar penerima tanah bukan hanya individu saja, namun juga lembaga seperti koperasi petani, pesantren, kelompok adat, dan lain sebagainya.
Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan di Indonesia sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari data yang menyebutkan bahwa lahan seluas 35,8 juta hektar hanya dikuasai 513 perusahaan pemegang konsesi hutan. Sedangkan, 56 persen dari jumlah petani di Indonesia hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 persen. (Muchlishon Rochmat)