Forum R20, Gagasan dan Impian Lama Gus Yahya yang Kini Terwujud
Rabu, 2 November 2022 | 18:00 WIB
Ketua Umum PBNU yang juga insiator R20, KH Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan sambutan pada upacara pembukaan Forum R20 di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Rabu (2/11/2022). (Foto: NU Online/Suwitno)
Aru Lego Triono
Penulis
Jakarta, NU Online
Para pimpinan agama terkemuka di seluruh dunia tengah melakukan pertemuan dalam forum Religion of Twenty (R20) di Bali pada 2-3 November 2022. Pertemuan ini disebut sebagai "konferensi spiritual" pertama yang digelar bersamaan dengan pertemuan G20, sebuah forum tahunan antarnegara maju di dunia.
R20 terselenggara atas inisasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan dukungan penuh pemerintah Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun ini. Lalu, PBNU memilih Liga Muslim Dunia sebagai mitra penyelenggara.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan, R20 digelar untuk memastikan bahwa agama bisa berfungsi sebagai sumber solusi yang tulus dan dinamis, sehingga tidak menjadi sumber masalah di abad ke-21.
Forum pertemuan para pemimpin agama dunia ini merupakan gagasan cemerlang dari seorang Gus Yahya. Ia sejak lama memimpikan adanya pertemuan semacam ini untuk membincang berbagai persoalan dunia sehingga bisa menelurkan sebuah solusi untuk peradaban dunia.
Ia menuliskan gagasan besar ini dalam sebuah buku berjudul 'Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama' yang disingkat PBNU, terbit pada 2020. Buku kecil yang hanya memiliki 148 halaman ini memuat pandangan Gus Yahya, mulai dari peradaban Islam, peradaban dunia, hingga tata kelola organisasi Nahdlatul Ulama yang harus dibenahi.
Di dalam buku PBNU (hlm 65), Gus Yahya menyebut bahwa NKRI adalah kendaraan bagi NU untuk berjuang demi peradaban. Menurutnya, dunia sedang membutuhkan visi tentang peradaban masa depan yang mulia dan Indonesia sudah memiliki rumusannya di dalam pembukaan UUD 1945.
Rumusan itu juga sesuai dengan keputusan Muktamar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984, tentang ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) yang menurut Gus Yahya, tidak lain adalah cita-cita yang harus diperjuangkan dalam pergaulan internasional. Politik luar negeri harus dikonsentrasikan kepada perjuangan ini.
Di dalam tulisan pada buku PBNU itu, Gus Yahya menegaskan bahwa perjuangan dalam membangun peradaban dunia berarti memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada. Bagaimana caranya? Tak lain adalah dengan mengakui masalah.
"Pertama-tama kita harus tahu masalahnya apa dan harus mau mengakui bahwa itu masalah. Jika tidak mau mengakui ada masalah, tidak mungkin kita bisa berpikir tentang solusinya," demikian tulisan Gus Yahya dalam buku PBNU, dikutip NU Online, Rabu (2/11/2022).
Masalah-masalah dalam Islam
Gus Yahya kemudian merincikan berbagai masalah yang ada di dalam Islam, muncul karena teks-teks keagamaan sudah tidak relevan jika dibaca dan dipahami pada konteks kekinian.
Misalnya, di dalam fiqih atau yurisprudensi Islam, dikatakan bahwa orang kafir itu harus dimusuhi dan halal darahnya (untuk dibunuh). Gus Yahya mengakui hal itu sebagai masalah, lalu dipikirkan jalan keluarnya.
Selanjutnya, fiqih mengatakan bahwa khilafah adalah cita-cita politik Islam yang paripurna, karena semuanya harus diarahkan kepada persatuan umat Islam di seluruh dunia, dan itu aspeknya adalah wilayah. Ada banyak pula aspek fiqih yang dasarnya adalah wilayah.
"Misalnya kalau ada mayat tidak dikenal, apakah wajib dirawat sebagai mayat Muslim atau tidak, pertimbangannya adalah wilayah di mana mayat itu ditemukan. Jika ia ditemukan di wilayah Darul Islam, maka ia wajib dirawat sebagai Muslim. Kalau ia ditemukan di Darul Kufur, maka tidak wajib (dirawat)," begitu Gus Yahya menulis di dalam buku PBNU (Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama), seperti dikutip NU Online.
Masalah lain muncul seiring adanya konsep negara-bangsa. Menurut fiqih, hukum harus mengikuti syariah yang diformulasikan dalam yurisprudensi oleh mujtahid yang memenuhi kualifikasi tertentu dan dengan metodologi yang sudah ditetapkan.
Masalahnya, saat ini sebagai besar masyarakat Islam hidup di dalam negara nasional yang hukumnya dirumuskan oleh orang-orang yang bukan mujtahid. Bahkan, orang-orang di luar Islam ikut merumuskan hukumnya karena mereka menjadi anggota parlemen. Pertanyaannya, wajib atau tidak seorang Muslim taat pada hukum yang metodologinya tidak persis dengan yang ditetapkan menurut syariah?
"Itu masalah dan jika tidak ada jalan keluar, berarti semua umat Islam di mana-mana wajib berontak kepada negara yang tidak menggunakan identitas Islam," tulis Gus Yahya.
"Kita harus berani mengakui ada masalah, dan dari sana kita mencari jalan keluar dari masalah. Kita harus mengakui dan kita harus berbicara kepada semua orang di seluruh dunia tentang masalah ini," tegas Gus Yahya.
Ia mengungkap masalah lain yang kerap terjadi dalam Islam. Menurut fiqih, saat terjadi konflik misalnya, sesama Muslim harus saling membela dan memerangi orang yang menyerang kelompok Islam. Tetapi menurut Gus Yahya, jika hal itu dilakukan maka dunia akan runtuh dengan serta merta. Sementara itu, kalau itu tidak dilakukan, tetapi fiqih mengatakan begitu.
"Berarti ada masalah di sini dan kita harus akui sebagai masalah. Kita harus bicara kepada dunia tentang masalah-masalah ini supaya seluruh dunia ikut memikirkan jalan keluarnya," ungkap Gus Yahya di dalam buku PBNU.
Menurut Gus Yahya, masalah-masalah itu bukan hanya persoalan Muslim dan Non-Muslim, tetapi juga menyangkut pandangan-pandangan masyarakat di luar Islam. Orang Kristen memiliki pandangan yang mirip, orang Yahudi memiliki pandangan yang mirip juga, orang Hindu kurang lebih sama.
Di negara Komunis seperti China, semua orang yang bukan komunis tidak boleh muncul. Rasisme di Barat juga masih marak. Orang Hindu di India bisa semena-mena tiap saat pada orang Islam. Orang Buddha d Myanmar membantai umat Islam.
"Maka kita harus mencari jalan keluarnya, bersama-sama manusia lain, dan kita harus kembali kepada ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Dan, sebelum ikut serta di dalam perjuangan peradaban dunia, pertama-tama kita harus mendudukkan secara benar NKRI sebagai wasilah (perantara/kendaraan)," tulis Gus Yahya.
Benar saja, gelaran R20 ini terselenggara karena Gus Yahya telah berhasil menggunakan Indonesia sebagai kendaraan untuk melakukan pergulatan global, sehingga para pemimpin agama-agama di seluruh dunia berkenan hadir untuk berdiskusi; mengakui masalah dan menemukan solusi untuk peradaban dunia.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
6
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
Terkini
Lihat Semua