Jakarta, NU Online
Nabila Dewi Gayatri memiliki cerita sendiri ketika melukis KH Hamim Tohari Djazuli (1940-1993) atau dikenal dengan Gus Miek, kiai dari Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri. Gus Miek adalah putra dari pendiri pesantren tersebut, KH Ahmad Jazuli Utsman.
Menurut Nabila, ketika melukis Gus Miek, selalu tidak bisa. “Gus Miek, ketika saya mau besarkan, dia tidak mau,” kata Nabila di lokasi pameran tunggal lukisannya, para kiai Nusantara yang bertajuk “Sang Kekasih” Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (9/5).
Semula, ia ingin melukis Gus Miek dengan pose separuh badan sebesar 150x120 m. “Udah saya taruh kanvas, saya taruh fotonya di samping. Saya mulai. Saya tidak bisa memulainya. Enggak bisa. Tangan saya gerakkan sulit. Otakku penuh, tidak ada ide-ide baru, memulainya dengan cara apa? Sepertinya aku bukan pelukis ketika melukisnya,” jelasnya.
Kemudian dia beristighfar, lalu mengirimi fatihah dengan lafal, “khususon ila waliyullah Gus Mik, “Saya tahlili, saya mulai lagi. Belum bisa,” lanjutnya.
Alumnus Jurusan Arsitek Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Aqidah Filsafat Al-Azhar Kairo itu lalu berziarah ke makam Gus Miek di Ploso. “Kemudian saya mendapatkan ilham, dia tak mau dibesarkan, dapat petunjuk,” katanya.
Setelah itu, perempuan kelahiran Gresik 1969 itu bisa melukis dengan lancar dengan ukuran lebih yaitu 50 x 50 m. sementara kiai lain 80 x 100 m. Bahkan ia bisa melukis ukuran sama sampai 13 buah. “Kemudian ketika melukis Gus Miek, dapat 13, habis. Meski ukurannya lebih kecil, harganya saya samakan karena istimewa,” katanya.
Lukisan Gus Miek itu dipamerkan di Grand Sahid Jaya dari 8-14 Mei. Lukisan itu berada di bagian belakang di antara KH As'ad Syamsul Arifin dan KH Idham Chalid. Ia lebih kecil di antara kedua kiai itu. Dari semua lukisan kiai yang dipamerkan. (Abdullah Alawi)