Syifa Arrahmah
Penulis
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan bahwa kepintaran tidak menjamin seseorang memenangkan peran penting dalam kehidupan. Seringkali kepintaran terkalahkan oleh keberuntungan.
“Ada benarnya kalau dikatakan bahwa orang bejo (beruntung) itu menangan. Orang pinter itu kalah dengan orang bejo,” kata Gus Yahya dalam sambutannya di acara pelantikan Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Kota Malang di Hotel Aria Gajayana, Ahad (31/7/2022) kemarin.
Keberuntungan menurutnya tidak dapat dinafikan bahkan hal itu ia rasakan betul ketika terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-34 di Lampung, Desember tahun lalu.
“Saya itu termasuk orang yang beruntung. Beruntungnya itu belum melakukan apa-apa sudah beruntung. Jadi Ketua Umum PBNU pas menjelang dua abad NU,” ucap Gus Yahya.
“Tidak akan ada ketua umum seperti saya sampai 100 tahun mendatang,” sambung tokoh yang pernah menjabat sebagai juru bicara (Jubir) Gus Dur itu.
Namun, ia juga tidak menampik bahwa keberuntungan berkaitan erat dengan takdir. Barang siapa yang ikhtiarnya cocok dengan takdir Allah swt maka dia beruntung.
“Tapi, kalau belum cocok maka ya harus ridha,” lanjutnya.
Kekaguman Gus Yahya pada ulama NU
Dalam kesempatan itu, Gus Yahya juga menceritakan kekagumannya terhadap ulama-ulama NU salah satunya Almaghfurlah KH Maimoen Zubair (Mbah Moen). Baginya Mbah Moen bukan hanya ulama yang khidmah terhadap ilmu tapi juga membimbing umat.
“Ini adalah latifah (kelembutan) kiai-kiai kita sejak dulu. Sebagai khudamaul ilm tidak membatasi diri khidmah kepada ilmu saja tetapi beliau-beliau juga melakukan peran riayatul ummah (mengasuh umat). Dan itu merupakan keunikan dari kiai-kiai kita,” terang dia.
Hal itulah yang menurutnya menjadikan ulama-ulama NU berbeda dengan ulama-ulama di negara lain. “Di tempat lain itu yang namanya ulama ya khidmatnya terhadap ilmu saja. Mengajar, menulis kitab-kitab, dan lainnya,” ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang itu mengatakan bahwa peran mengasuh umat itu tercermin jelas dari para pengasuh pondok pesantren, yang bukan saja mengajar melainkan mengurus segala macam kebutuhan para santrinya.
“Kiai-kiai kita tidak hanya mengajar kitab kepada santri tapi juga mengurus segala macam hajat (kebutuhan) jamaahnya,” katanya.
Kebutuhan itu, lanjut dia, bisa beragam mulai dari urusan duniawi hingga ukhrawi. “Mau kawin datang ke kiai, mau nyunatin anak datang ke kiai, mau nyalon bupati atau walikota datang ke kiai. Semua hajat dicurahkan ke kiai,” ungkap dia.
“Dan rata-rata kiai-kiai NU itu banyak mencurahkan waktunya untuk mengasuh umat,” imbuh Gus Yahya.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua