Nasional

JPPI Jelaskan 3 Catatan untuk Ketiga Capres soal Problem Pendidikan

Sabtu, 3 Februari 2024 | 14:00 WIB

JPPI Jelaskan 3 Catatan untuk Ketiga Capres soal Problem Pendidikan

Ilustrasi pendidikan. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji memberikan tiga catatan penting pada ketiga calon presiden (capres) terkait masalah pendidikan di Indonesia. Ketiganya meliputi sistem pembayaran sekolah/kuliah, angka putus sekolah yang masih tinggi, dan masalah kualitas serta gaji guru yang belum layak.


Hal itu ia sampaikan dalam diskusi bertema ”Bedah Gagasan Capres atas Persoalan Pendidikan” yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Jumat (2/2/2024).


Ia mengatakan bahwa mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu penyebab angka putus sekolah. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, jumlah siswa putus sekolah kembali mengalami kenaikan pada tahun ajaran 2022/2023.


Angka putus sekolah (APS) di berbagai tingkat pendidikan mencapai 76.834 orang, dengan rincian jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang.


”Dari 2012 sampai 2023 itu, rata-rata anak sekolah itu masih di tingkat 8. Jadi, rata-rata nasional anak Indonesia itu SMP tidak lulus. Padahal, kita sepakat wajib belajar 12 tahun,” ucapnya.


Ubaid juga mengatakan, biaya sekolah/kuliah yang tinggi memunculkan berbagai macam permasalahan baru, salah satunya, kasus Institut Teknologi Bandung yang menawarkan pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswanya untuk membayar biaya kuliah.


“Ini menandakan pemerintah belum menjamin hak masyarakat mendapat pendidikan yang tertuang dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945,” kata Ubaid.


Kemudian, ia menyinggung soal masalah kualitas guru dan gaji guru yang masih rendah. Menurutnya, gagasan dari para paslon belum ada yang mengurai masalah yang dihadapi guru saat ini.


"Dari gagasan para paslon, tidak ada satu pun gagasan yang bisa mengurai problem yang dihadapi guru saat ini," ucap Ubaid.


"Ini gara-gara anak-anak enggak minum susu? Atau gara-gara gaji guru rendah? Atau gara-gara enggak ada wajib belajar 12 tahun? Kan enggak?" sambungnya.


Lebih lanjut ia mengingatkan, berdasarkan skor Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2023, skor literasi, numerasi dan sains anak Indonesia masih rendah. Maka, guru sebagai aktor yang dominan di sekolah penting diperhatikan.


"Nah dari capres nomor urut satu, dua dan tiga, tidak ada satu pun yang bisa mengurai apa yang harus dilakukan terkait dengan problem yang dihadapi guru hari ini," terang dia.


Padahal, ucap dia, ketiga capres dan cawapres sejatinya bukan orang baru di pemerintahan. Sebagian bahkan pernah memimpin suatu daerah. “Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta, Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo dan Ganjar Pranowo menjadi Gubernur Jawa Tengah,” ungkapnya.


“Sayangnya, ketiga daerah tersebut masih memiliki permasalahan pendidikan yang sangat besar,” lanjutnya.


Tak hanya itu, Ubaid juga menilai ketiga daerah tersebut masih gagal dalam menangani masalah kekerasan di satuan pendidikan yang sampai hari ini masih banyak terjadi. Ia melihat aksi pemberantasan kekerasan di sekolah belum banyak dilakukan di sektor pemerintah daerah, melainkan baru di tingkat satuan pendidikan.


"Baik di Jakarta, Solo, dan Jawa Tengah belum ada Satgas TPPK di level provinsi," terang Ubaid.


"Itulah tiga catatan penting untuk paslon dan satu hal menurut saya yang sedang ramai diberitakan media massa soal tren angka kekerasan di sekolah khususnya kekerasan seksual," pungkasnya.