Jember, NU Online
Pekerjaan tidak selamanya sesuai dengan bidang pendidikan. Ada kalanya pekerjaan yang ditekuni jauh melenceng dari ilmu yang didapat. Itulah yang terjadi pada Ahmad Mursyid Rois. Lelaki kelahiran Jember, 12 Januari 1971 ini, sebetulnya lebih pas sebagai ustadz karena lulusan pesantren, tepatnya Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Namun keinginannya yang kuat untuk membantu petani di bidang pupuk, membuat arah hidupnya ‘menyimpang’ dari hasil ilmu yang ditimbanya selama 5 tahun di pesantren. Hingga akhirnya ia menjadi pembuat pupuk organik.
“Begitu saya pulang dari pondok, saya melihat pupuk kok agak sulit didapat oleh petani. Padahal, pupuk sangat dibutuhkan. Pupuk seperti dipermainkan,” tukasnya kepada NU Online di kediamannya, Dusun Sumberpinang, Desa Karangharjo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember Jawa Timur, Ahad (15/9).
Namun yang membuat Mursyid, sapaan akrabnya, semakin terpacu untuk membuat pupuk organik adalah karena petani begitu cinta kepada urea, yang notbene merupakan pupuk kimia. Masyarakat sudah urea minded, begitu katanya. Padahal dalam jangka panjang, pemakaian pupuk kimia akan menghilangkan kesuburun tanah. Jadi itulah sesungguhnya misi besar yang diemban oleh Mursyid dalam bergelut dengan pupuk organik.
“Kalau tanah sudah tak subur, mau ditanami apapun tidak bagus. Kalau orang mengatakan (nyanyian) tongkat kayu dan batu jadi tanaman, itu karena tanah kita subur. Tapi kalau tidak subur, bisa sebaliknya, tanaman akan jadi tongkat dan batu,” lanjutnya.
Misi mulia Mursyid itu dimulai tahun 1991 dengan membuat pupuk organik dalam skala industri rumahan. Karena hasilnya cukup menguntunngkan bagi petani dengan harga yang terjangkau, usaha pupuk yang dilakukan Mursyid berlanjut hingga beberapa tahun kedepan. Baginya, membuat pupuk organik tidaklah sulit. Sebab, bahan bakunya cukup banyak tersedia, apalagi di desa.
“Tinggal kita mau atau tidak, kan itu masalahnya,” jelasnya.
Mursyid tidak semata-mata tekun dalam bergelut dengan pupuk organik, tapi juga inovatif. Tahun 2006, ayah dari 5 anak itu menelurkan produk baru dengan nama AZENSA. Dalam waktu tak terlalu lama, pupuk organik merk AZENSA mendapat respons baik dari kalangan petani. Selain dijual dalan bentuk jadinya yang dikemas dengan sak berukurun 40 kilogram, juga disediakan kemasan kecil berupa ‘biang’ AZENSA.
“Kalau ada yang beli yang sudah instan, ya tinggal nabur saja. Kalau sukanya beli campurannya (biang), ya monggo. Tinggal nyampur sendiri dengan pupuk kandang. Kita kasih tahu cara nyampurnya, ukurannya berapa dan sebagainya,” ulasnya.
Sukses dengan produk AZENSA, Mursyid menerbitkan produk lagi di tahun 2015. Ia memberi nama produknya Bio NAGA 45 SL. Selain diklaim sebagai pengembangan dari AZENSA, pupuk jenis ini merupakan konsentrat pupuk cair dengan kombinasi fitohormon alami dan agensia hayati pemacu pertumbuhan tunas. Dapat merangsng perakaran, memacu pembungaan dan pertumbuhan buah di luar musim untuk buah naga dan holtikultura lainnya.
“Ini pupuk ramah lingkungan. Buah yang dihasilkan bebas residu kimia, dan otomatis meningkatkan harga jual buah. Bio NAGA 45 SL legal secara hukum, ada ijin dari Kementan, dan sebagainya,” ucapnya.
Usaha yang dilakukan Mursyid rupanya dipantau oleh pemerintah. Buktinya, tahun 2017, ia mendapatkan penghargaan dari Kementerian Ristekdikti RI berupa Peringkat III Anugerah Iptek Labdha Kretya. Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.
Pemasaran pupuk organik buatan Mursyid yang diproduksi oleh CV Karomah Tani Jember itu menggunakan jaringan antarkonsumen. Sehingga tak heran jika konsumen menghubungi langsung kepada Muryid untuk memesan pupuk organik yang dihasilkannya. Mereka berasal dari Jawa Timur seperti Lumajang, Tulungagung, Ponorogo, Banyuwangi, dan Jember sendiri. Ada juga konsumen dari Pekanbaru, Riau, bahkan Afrika.
“Yang dari Afrika itu, tahu produk saya setelah saya menjadi narasumber dalam sebuah acara terkait budidaya kurma di Bogor beberapa waktu. Mereka minta sample dengan keterangan bahasa Inggris dan Spanyol, dan sudah saya kirim, mereka oke. Untuk sementara, mereka minta kiriman 1 ton biang Bio NAGA 45 SL,” urainya.
Biang yang dimaksud adalah bakteri pengurai hormon dan pembelah sel. Biang itu nanti dicampur dengan pupuk organik yang memang sudah tersedia di negara mereka. Harga perkilogramnya adalah Rp100.000. Dikatakannya, selain menyediakan Bio NAGA 45 SL dalam bentuk biang, Mursyid juga memproduksi pupuk yang sudah jadi dengan harga beragam, mulai dari Rp40.000 hingga Rp600.000/kilogram.
“Tiap hari pasti ada yang beli, mulai dari setengah kwintal hingga 1 ton. Memang agak mahal (Rp600.000), karena kegunaannya sama dengan pupuk kimia, tapi isinya adalah organik,” ungkapnya.
Murysid berharap agar usahanya dalam memproduksi pupuk organik mendapat dukungan dari semua pihak. Pasalnya, ini bukan sekadar cerita orang jua-beli pupuk tapi terkait dengan keinginan pemerintah –dan kita semua-- untuk menekan seminimal mungkin penggunaan pupuk kimia. Kenyataannya, meski pemerintah sudah berusaha sedemikian rupa untuk mengubah kebiasaan petani dalam menggunakan pupuk kimia, diantaranya dengan menjual pupuk kimia yang dipaketkan dengan pupuk organik, namun kebiasaan itu tak juga sirna. Pupuk kimia masih dicari meski kadang sulitnya setengah mati.
Masyarakat memang harus terus dibangun kesadarannya untuk beralih ke pupuk organik. Sebab pupuk kimia, tidak sekadar mengancam tergerusnya kesuburan tanah, tapi juga berbahaya terhadap kesehatan manusia akibat mengkonsumsi buah yang dihasilkan oleh pupuk tersebut. Dan, Mursyid telah berkontribusi untuk merubah pola pikir petani yang cenderung urea minded, betapapun kecilnya.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Zunus Muhammad