Jakarta, NU Online
Selepas maghrib pertengahan Februari tahu lalu, saya bersama seorang teman sowan kepada kiai besar negeri ini. Ia pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama (MUI) Pusat dan memimpin ormas terbesar dunia, yaitu menjadi Penjabat Rais ‘Aam PBNU zaman Ketua Umum KH Abdurrahman Wahid. Dialah KH Ali Yafie.
Maghrib dengan sisa-sisa hujan waktu itu. Bintaro, Jakarta Selatan, basah. Sepertinya orang-orang malas keluar karena kebetulan juga hari itu libur sehingga jalanan lengang. Kami dengan mudah menuju rumah kiai kharismatik yang dikenal sebagai ahli fiqih tersebut.
Kami sampai ke kediaman kiai yang telah berusia 90 tahun tersebut itu. Ia lahir di Donggala, Sulawesi Tengah pada September 1926 setelah beberapa bulan para kiai mendirikan Nahdlatul Ulama di Jawa Timur. Sebuah organisasi yang kelak akan dipuncakinya.
Kami berjamaah shalat maghrib dengan imam salah seorang putranya, Helmi Ali. Tak lama kemudian Kiai Ali Yafi diperiksa darah oleh keluarganya. Itu hal rutin yang dilakukan kepadanya tiap menjelang malam. Tak ada penyakit serius yang mendera masa tuanya. Tidak ada. Ia tak banyak beraktivitas lagi karena memang telah tua.
Tentang kesahatan itu, salah satu yang menjadi pertanyaan kami ketika mengobrol dengan kiai berperawakan kurus putra bungsu KH Muhammad Yafie tersebut.
Helmi Ali kemudian memapah Kiai Ali Yafi ke ruangan tengah. Ia berbaju batik panjang, bercelana hitam, bersandal, dan tentu saja berkopiah hitam. Duduk dia di sebuah kursi, di depan sebuah lemari yang berderet buku-buku. Buku dari ragam jenis cabang keilmuan.
Setelah bersalaman dengannya, teman saya langsung bertanya, biasanya istirahat tiap pukul berapa, Kiai? Kiai Ali menjawab, rata-rata tidur pukul 11 malam. Suaranya masih terdengar jelas.
Teman saya menyusul dengan pertanyaan lain. Apa resepnya menjaga kesehatannya. Ia menjawab, hiduplah dengan teratur, makan dan istirahat yang teratur. Teratur. Teratur. Teratur. Dan tak pernah kenyang makan dan minum.
Menurut pengakuannya, kiai yang merupakan cucu Syekh Abdul Hafidz Bugis itu tak pernah tahu rasanya kenyang makan dan minum sampai umurnya menjelang seabad. Tak pernah!
“Makan teratur tidur teratur. Kita dididik oleh ayah tidak boleh kenyang,” katanya.
Sementara untuk menjaga ingatan, ia adalah orang yang tak pernah berhenti membaca kitab kuning dan buku. Buku apa saja. Mulai dari fikih, sastra, politik, sosial, sampai cerita silat. Dan tentu saja rutin mendaras Al-Qur’an.
“Bagi saya membaca buku adalah kewajiban pertama karena ayat pertama itu iqro, bacalah. Sebelum orang disuruh sembahyang, disuruh membaca dulu. Buat saya itu, kewajiban mutlak. Jadi Saya tidak pernah tidak membaca dalam satu hari,” jelasn penulis buku Menggagas Fiqih Sosial (1994) itu. (Abdullah Alawi)