Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama sudah memasuki usia 93 tahun pada hitungan hijriah. Tujuh tahun lagi, organisasi yang dibentuk dan digerakkan oleh para ulama Nusantara ini bakal genap berusia satu abad. Nahdliyin yang pernah aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang tergabung dalam Majelis Alumni IPNU siap menyongsong kebangkitan kedua NU.
Frasa ‘kebangkitan kedua’ menjadi tanda tanya besar di benak Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Aqil Siroj. Pertanyaan tersebut menggerakkannya untuk menelusuri maksud frasa tersebut hingga akhirnya ia teringat pada sebuah hadis Nabi Muhammad saw. dan membuatnya terkagum-kagum.
“Setiap seratus tahun, Allah akan mengutus orang yang akan memperbaharui agamannya,” kata Kiai Mustofa Aqil saat memberikan sambutan pada kegiatan Halaqoh dan Silaturahmi Nasional (Silatnas) Majelis Alumni IPNU di Gedung Negara Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Ahad (7/7) malam.
Kata yujaddid (mempebaharui) dalam hadis tersebut, jelasnya, menunjukkan makna istimror, terus menerus sampai mencapai puncaknya, sedangkan kata man bisa berarti satu ataupun banyak, bisa kelompok atau ormas.
Jika dulu, lanjut Kiai Mustofa, musuhnya jelas orang-orang komunis, Inggris, Belanda. Namun, saat ini, yang dihadapi justru mereka yang juga melaksanakan shalat. Karenanya, ia menegaskan bahwa hanya ada satu cara untuk menang menghadapi mereka.
“Apa satu? Ketaatan Nahdliyin kepada ulama,” kata Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat itu.
Ketaatan mutlak Nahdliyin kepada ulama menjadi satu-satunya cara berhasil menang menghadapi tantangan zaman sekarang. Kiai Mustofa melihat bahwa sepanjang ketaatan itu masih diemban oleh para Nahdliyin, selama itu pula keberhasilan diraih oleh NU.
“Catatan telah memberikan satu bukti sepanjang NU taat kepada ulama sepanjang itu pula NU berhasil apapun yang dihadapinya,” ujarnya.
Meskipun demikian, adik kandung KH Said Aqil Siroj itu menegaskan bahwa siapapun, termasuk para aktivis IPNU boleh berbeda pandangan dengan para kiai. Sebab, para pelajar dan pemuda harus memunculkan ide-ide dan pemikiran yang maju dan kreatif. Tetapi, pada akhirnya, harus taat kepada para kiai, sam’an wa tha’atan.
Ketaatan Sayidina Ali dan Sayidina Umar
Kiai Mustofa mencontohkan Sayidina Ali bin Abi Thalib saat berbeda pandangan dan tetap taat kepada Nabi Muhammad SAW ketika perjanjian damai pada Perang Hudaibiyah. Saat itu, Sayidina Ali diminta Nabi menulis lafal basmalah secara lengkap. Namun, Suhail bin Amr dari pihak kafir Quraisy menolaknya dan meminta agar cukup ditulis bismika allahumma. Nabi pun menuruti permintaan Suhail dan Sayidina Ali pun manut kepada Nabi.
Silang pendapat itu terjadi pada saat Nabi meminta Sayidina Ali menghapus frasa Rasulullah pada perjanjian tersebut mengingat Suhail tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai rasul sehingga ia meminta agar ditulis dengan imbuhan nama ayahnya sebagaimana nama Suhail tertulis bin Amr.
Saat itu, Sayidina Ali menolak. Ia menyampaikan kepada Nabi bahwa selama ini ia berperang itu karena meyakini bahwa sosok yang tengah ia ajak bicara adalah seorang Rasulullah. “Kalau engkau adalah Rasul, apapun risikonya, tulis Rasulullah,” tentang Sayidina Ali kepada Nabi.
Meskipun Sayidina Ali menentangnya, Nabi tidak sedikit pun menunjukkan kemarahannya. Sama sekali ia tidak marah. Nabi pun meminta sepupu yang juga menantunya itu untuk menunjukkan frasa Rasulullah dalam tulisan tersebut. Sayidina Ali pun menunjuknya lalu Nabi menyentuhnya dan tulisan tersebut hilang.
“Ali, gak ada kan? Berarti Allah ridha kalau tulisan Rasulullah diganti,” kata Nabi kepada suami Sayidah Fathimah itu. Akhirnya, frasa rasulullah dalam naskah perjanjian itu diganti frasa ibnu Abdillah.
Kemudian, salah satu poin perjanjian yang diusulkan oleh Suhail adalah jika orang Mekkah datang ke Madinah wajib dikembalikan, tetapi jika orang Madinah datang ke Mekkah tidak wajib dikembalikan. Nabi pun meminta Sayidina Ali untuk menulis apa yang disampaikan oleh Suhail itu.
Mendengar hal tersebut, Sayidina Ali langsung melempar pulpennya dan langsung menantang Suhail di hadapan Nabi. “Jangan kelamaan, gelut (berantem) aja yuk!” kata Kiai Mustofa menceritakan kegeraman Sayidina Ali.
Nabi pun langsung merangkul Sayidina Ali sembari mengatakan bahwa semua hal yang ia lakukan adalah kehendak Allah, bukan Nabi. Akhirnya, Sayidina Ali manut dan menuliskan poin perjanjian yang diusulkan oleh Suhail tersebut.
“Ketaatan sahabat dibuktikan setelah ngeyel, melawan, pikiran yang berbeda,” kata Kiai Mustofa.
Begitulah Nabi mendidik para sahabatnya. Hal itu pula yang diterapkan oleh para ulama. “NU mendidik kita silakan berdedikasi, silakan mengkritik, silakan punya ide yang macam-macam seakan-akan melawan, gak papa, asal pada akhirnya taat kepada orang tua,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kiai Mustofa Aqil juga mengungkapkan ketaatan Sayidina Umar bin Khattab. Saat mendengar adanya perjanjian tersebut, Sayidina Umar langsung melayangkan pertanyaan mendasar kepada Nabi Muhammad, “Apakah engkau betul Rasulullah? Apakah betul kami Muslim dan mereka kafir? Apakah jika kita meninggal masuk surga dan mereka masuk neraka?”
Tentu pertanyaan-pertanyaantersebut diiyakan semua oleh Nabi Muhammad SAW. Lalu, Sayidina Umar pun mengajukan pertanyaan lain, “Kenapa tidak perang saja?”
Mendengar pertanyaan itu, Nabi menjawab cukup panjang. Ia menjelaskan kepada sahabat yang juga mertuanya itu, bahwa Islam merupakan agama dakwah dan perdamaian. Penerimaan Nabi terhadap perubahan lafal basmalah yang lengkap diganti dengan bismika allahumma bukan tanpa alasan. Penerimaan itu didasarkan pada alasan pengetahuan tata bahasa yang menunjukkan bahwa isim dhomir lebih dekat ketimbang isim dzohir.
Kiai Mustofa juga mengungkapkan bahwa penerimaan Nabi terhadap perubahan rasulullah menjadi ibnu Abdillah sebagaimana Suhail bin Amr itu karena Nabi Muhammad ditolak oleh Mekkah. Penyematan nama ayahnya yang orang Mekkah menunjukkan penerimaan mereka terhadap Nabi Muhammad sebagai orang Mekkah.
Lebih lanjut, terkait poin yang diajukan oleh Suhail tentang jika orang Mekkah datang ke Madinah wajib dikembalikan, tetapi jika orang Madinah datang ke Mekkah tidak wajib dikembalikan. Nabi memikirkan bahwa jika perang, meskipun meninggal balasannya surga, tetapi bagaimana nanti anak cucu yang memerlukan pendidikan.
Mekkah dan Madinah terpaut jarak yang cukup jauh, hampir 500 km, sekitar 480 km. Jauhnya jarak itu membuat Nabi berpikiran bahwa ada ketidakmungkinan orang Mekah datang ke Madinah dan orang Madinah datang ke Mekah ketika ada perjanjian tersebut.
“Nabi membiarkan sahabat punya pemikiran. Tidak pernah marah,” tegas Kiai Mustofa.
Demikian pula kiai, lanjutnya, yang membiarkan orang lain berbeda pandangan dengannya. Kiai mempersilakan para santrinya untuk mengungkapkan ide briliannya, pemikiran majunya, kreatifitasnya. “Tetapi pada akhirnya kita membutuhkan keridhaan kiai,” tegasnya.
Kegiatan ini dihadiri oleh para alumni IPNU dari seluruh penjuru Nusantara, di antaranya Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Zainut Tauhid Saadi, Inspektur III Kementerian Agama H Hilmi Muhammadiyah, Sekjen PBNU H Helmy Faishal Zaini, Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga H Asrorun Niam Sholeh, Bupati Sumedang H Dony Ahmad Munir, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan Wakil Bupati Blora Arif Rohman. (Syakir NF/Fathoni)