Nasional OBITUARI

Ki Enthus, Dalang Banser itu Kini Telah Berpulang

Senin, 14 Mei 2018 | 15:20 WIB

Jakarta, NU Online
Dunia seni pewayangan berduka mendengar kabar Ki Enthus Susmono telah berpulang ke Rahmatullah pada Senin (14/5/2018) sekitar pukul 19.10 WIB di Rumah Sakit Soeselo Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Seniman yang dijuluki ‘Dalang Edan’ itu tidak hanya mantap ketika membawakan lakon-lakon dalam pagelaran wayang kulit, tetapi juga memiliki komitmen mantap dalam meneguhkan semangat menjaga NKRI dengan bergabung menjadi anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

Bahkan, dalang nyentrik kelahiran Tegal, 21 Juni 1966 ini pernah mengenakan seragam Banser ketika diberi kesempatan mendalang di acara seribu hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2012 silam di Ciganjur, Jakarta Selatan. Kecuali blangkon, ketika itu Ki Enthus bersama puluhan anggota timnya tidak mengenakan pakaian adat Jawa melainkan seragam Banser.

Di temani Megan, seorang sinden asal Amerika Serikat, mantan Kasatkorcab Banser Tegal itu bersama sinden lainnya juga melantunkan beberapa lagu bernuansa NU, seperti Qasidah Nahdlatul Ulama karya KH Fuad Hasyim Buntet, Mars Gerakan Pemuda Ansor, serta sejumlah shalawat lainnya.

Keterlibatan, pengabdian, dan keterlibatan Bupati Tegal periode 2014-2019 itu dalam organisasi Nahdlatul Ulama juga dicurahkan untuk Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi). Sebagai seorang seniman Nahdliyin, ia tidak lari dari realitas kehidupan masyarakat tiap dirinya mendalang. Bahkan, banyolan-banyolannya menambah daya tarik masyarakat terhadap dunia pewayangan.

Ali Sobirin, aktivis kelahiran Tegal yang kini aktif di Lembaga Takmir Masjid PBNU menilai, Enthus merupakan salah seorang Wakil Ketua Lesbumi yang tidak pernah saklek memaksakan kehendak dan pendapat dalam mengurus organisasi.

“Saya bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang besar utamanya pejabat. Perkenalan Saya dengan Ki Enthus Susmono adalah ketika saya masih ngaji di Lesbumi PBNU di mana beliau adalah seorang wakil ketua dan komunikasi terputus sejak beliau jadi Bupati Tegal,” ujar Ali Sobirin dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/5).

Pria yang kerap disapa Alsob ini mengungkapkan, komunikasi awal dia dengan Enthus ketika menghadap Enthus terkait Lesbumi yang menurut Alsob memerlukan dorongan nyata dari Enthus agar Lesbumi bisa lebih nyata begerak secara organisasi.

“Saya sampaikan beberapa person yang menurut saya kurang organisatoris dan perlu sentuhan beliau,” tuturnya.

Apa yang menarik dari pertemuan itu adalah Ki Enthus justru mengingatakan kepada Alsob secara halus dan sangat lembut melalui cerita Enthus betapa dekatnya dia dengan person-person yang Alsob sebutkan. Dan Enthus merasa tidak pas untuk hal dimaksud.

Kala itu, Alsob cukup dongkol karena Ki Enthus lebih mengutamakan perasaan daripada kepentingan organisasi. Namun setelah merenung panjang, Alsob baru paham bahwa ngurusi NU itu tidak boleh saklek sok tertib, sok ngadministrasi, dan lain-lain.

“Apalagi yang diurusi adalah para seniman dan budayawan yang secara karakter memiliki otonomi dan kemerdekaan diri di atas rata-rata,” jelas Alsob.

Ki Enthus dibesarkan dari lingkungan keluarga dalang. Ia adalah anak semata wayang Soemarjadihardja, dalang wayang golek Tegal dengan istri ketiga bernama Tarminah. Bahkan kakek moyangnya, RM Singadimedja merupakan dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram.

Gaya sabetan ayah empat orang anak ini khas. Kombinasi sabet wayang golek dan wayang kulit membuat pertunjukan Ki Enthus berbeda dengan dalang-dalang lainnya. Ia juga memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menyusun komposisi musik, baik modern maupun tradisional (gamelan). (Fathoni)